Sumber :Bisnis Indonesia
Jumat, 26 Desember 2008
UU Minerba lindungi izin KK & PKP2B
JAKARTA: UU Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru disahkan merupakan upaya untuk mencari titik aman di mata kreditor dengan tidak merevisi kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara. Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan kondisi tersebut sebagai bentuk kentalnya ketakutan pemerintah terhadap negara-negara kreditor yang perusahaannya memiliki kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara di Indonesia. "Apalagi dalam situasi krisis keuangan global, pemerintah tentu tidak akan berani merevisi dan atau memutuskan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara tersebut," ujar Elfian Effendi kepada Bisnis di Jakarta, pekan ini.Kondisi tersebut, menurutnya, contoh nyata betapa Indonesia sudah masuk dalam jebakan utang luar negeri (debt trap). "Sehingga, pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara-yang di dalam UU Minerba yang baru-tertulis berasaskan keberpihakan kepada kepentingan bangsa, sebetulnya hanya sebagai retorika dan wacana," ujar Elfian.
Dia mengatakan dalam merespons krisis keuangan global saat ini, pemerintah masih membuat utang baru, baik kepada negara kreditor maupun secara multilateral, seperti lewat Bank Dunia."Yang menguasai lembaga multilateral pemberi pinjaman itu adalah negara kreditor Indonesia. Tentu mereka akan mempertanyakan jika kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara milik perusahaan dari negaranya dibekukan sepihak melalui UU Minerba yang baru. Konsekuensinya, tentu saja utang luar negeri yang baru tidak bakal disetujui," jelasnya.Artinya, lanjut Elfian, pemerintah memang tidak akan bisa berkutik dalam hal kedaulatan pengelolaan sumber daya alam RI, terutama pertambangan umum dan migas, sepanjang utang luar negeri masih besar dan membebankan secara signifikan.
Koordinator Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan UU Minerba mengabaikan laut sebagai ruang hidup masyarakat.
Dari sudut pandang geografis, sosial dan ekologis, UU itu juga menafikan konsepsi Indonesia sebagai negara kepulauan.Terlebih, UU Minerba mengedepankan keuntungan ekonomis semata daripada keberlanjutan sumberdaya pesisir dan laut serta kelangsungan hidup masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Penuh kontradiktif
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) ) Siti Maimunah menilai UU Minerba penuh pasal yang kontradiktif dan pada akhirnya tidak akan dapat diterapkan. "Yang utama adalah tidak adanya tahapan kaji ulang dan renegosiasi kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Jelas itu menyebabkan UU Minerba tidak akan operasional," tegasnya. Beberapa pasal di UU Minerba, lanjutnya, banyak yang kontradiktif yang bisa memberikan implikasi konflik di bidang agraria. Bahkan, dia menambahkan, dikhawatirkan sejumlah kawasan lindung dan hutan adat yang sudah semakin termarginalkan akan hilang, mengingat alih fungsi sejumlah kawasan ini dapat dilakukan atas izin dari pemerintah.
Siti mengatakan UU yang baru saja disahkan ini juga menggunakan mekanisme administratif dalam proses perizinannya. "Hal ini akan berakibat pada tidak efektifnya penanganan dampak pencemaran ataupun kerusakan lingkungan yang berdimensi ekologis," katanya.
Contohnya pencemaran pertambangan di perairan laut dapat meluas melampaui wilayah izin konsesi yang diberikan pemerintah. Selain itu, UU Minerba ini akan mempercepat rusaknya sarana dan infrastruktur karena dapat dimanfaatkan sebagai sarana pertambangan.
Dalam kesempatan itu, Siti menyatakan UU Minerba bertolak belakang dengan UU Lingkungan Hidup. "Kontradiksinya antara yang mengakui legal standing organisasi lingkungan hidup ketika mengajukan gugatan terhadap korporasi saat terjadi perusakan lingkungan," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar