Kamis, 15 April 2010

Istilah-istilah Yang Digunakan Dalam MRP

Istilah-istilah Yang Digunakan Dalam MRP


Sebelum memasuki lebih lanjut mengenai perencanaan kebutuhan material, berikut ini dijelaskan tentang istilah-istilah yang biasa digunakan.
1. Gross Requirement (GR, kebutuhan kasar)
Adalah keseluruhan jumlah item (komponen) yang diperlukan pada suatu periode.
2. Schdule Receipts (SR, penerimaan yang dijadwalkan)
Merupakan jumlah item yang akan diterima pada suatu periode tertentu berdasarkan pesanan yang dibuat.
3. Begin Inventory (BI, inventori awal)
Merupakan jumlah inventori diawal periode.
4. Net Requirement (NR, kebutuhan bersih)
Merupakan jumlah aktual yang diinginkan untuk diterima atau diproduksi dalam periode bersangkutan.
5. Planned Order Receipt (PORt, penerimaan pemesanan yang direncanakan)
Adalah jumlah item yamg diterima atau diproduksi oleh perusahaan manufaktur pada periode waktu terakhir.
6. Planned Ending Inventory (PEI, rencana persediaan akhir periode)
Merupakan sutau perencanaan terhadap persediaan pada akhir periode.
7. Planned Order Releases (PORel, pelepasan pemesanan yang direncanakan)
Adalah jumlah item yang direncanakan untuk di pesan agar memenuhi perencanaan pada masa yang akan datang atau order produksi yang dapat dilepas untuk dimanufaktur.
8. Lead Time
Adalah waktu tenggang yang diperlukan untuk memesan (membuat) suatu barang sejak saat pesanan (pembuatan) dilakukan sampai barang itu diterima (selesai dibuat).
9. Lot Size (ukuran lot)
Merupakan kuantitas pesanan dari item yang memberitahukan MRP berapa banyak kuantitas yang dipesan, serta lot sizing apa yang dipakai.
10. Safety Stock (stok pengaman)
Merupakan stok pengaman yang ditetapkan oleh perencana MRP untuk mengatasi fluktuasi dalam permintaan (demand) dan penawaran MRP untuk mempertahankan tingkat stok pada semua periode waktu.

Sumber : Praktikum Produksi Lanjut (SIsprod)

Tujuan MRP (Material Requirement Planning)

Tujuan MRP (Material Requirement Planning)

Secara umum, sistem MRP dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagai berikut :
1. Meminimalkan Persediaan
MRP menentukan berapa banyak dan kapan suatu komponen diperlukan disesuaikan dengan Jadwal Induk Produksi (JIP). Dengan menggunakan komponen ini, pengadaan (pembelian) atas komponen yang diperlukan untuk suatu rencana produksi dapat dilakukan sebatas yang diperlukan saja sehingga dapat meminimalkan biaya persediaan.
2. Mengurangi resiko karena keterlambatan produksi atau pengriman
MRP mengidentifikasikan banyaknya bahan dan komponen yang diperlukan baik dari segi jumlah dan waktunya dengan memperhatikan waktu tenggang produksi maupun pengadaan atau pembelian komponen, sehingga memperkecil resiko tidak tersedianya bahan yang akan diproses yang mengakibatkan terganggunya rencana produksi.
3. Komitmen yang realistis
Dengan MRP, jadwal produksi diharapkan dapat dipenuhi sesuai dengan rencana, sehingga komitmen terhadap pengiriman barang dilakukan secara lebih realistis. Hal ini mendorong meningkatnya kepuasan dan kepercayaan konsumen.

4. Meningkatkan efisiensi
MRP juga mendorong peningkatan efisiensi karena jumlah persediaan, waktu produksi, dan waktu pengiriman barang dapat direncanakan lebih baik sesuai dengan Jadwal Induk Produksi (JIP).
Dengan demikian terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan MRP (Material Requirements Planning), yaitu :
1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat
Kapan pekerjaan harus selesai atau material harus tersedia agar Jadwal Induk Produksi (JIP) dapat terpenuhi.
2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item melalui sistem penjadwalan.
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanaan.
Kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus dilakukan.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang harus direncanakan didasarkan pada kapasitas yang ada.

sumber : Praktikum Produksi lanjut (SISPROD)

Pengertian dan Konsep Dasar Proses Produksi

Pengertian dan Konsep Dasar Proses Produksi

Sebelum kita membahas mengenai pengertian dari proses produksi, sebaiknya terlebih dahulu kita mengtahui arti dari proses. Yang dimaksud dengan proses adalah cara, metode, dan teknik bagaimana sesungguhnya sumber-sumber (tenaga keja, mesin, bahan, dan daya) yang ada diubah untuk memperoleh suatu hasil. Sedangkan produksi seperti kita ketahui adalah kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa. Dari uraian diatas kita dapat menarik kesimpulan mengenai pengertian dari proses produksi. Proses produksi dapat diartikan sebagai cara, metode, dan teknik untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber-sumber (tenaga kerja, mesin, bahan-bahan, dan daya) yang ada. Seperti kita ketahui bahwa cara, metode dan teknik menghasilkan produk yang cukup banyak, maka proses produksi saat ini sangat banyak macamnya, Walaupun jenis proses produksi sangat banyak, tetapi secara ekstrem dapat dibedakan menjadi dua yaitu proses produksi yang terus-menerus (countinous processes) dan proses produksi yang terputus-putus (intermitten processes) ( Assauri, Sofjan, 1993).
Proses produksi adalah pengubahan (transformasi) dari bahan atau komponen menjadi produk lain yang mempunyai nilai lebih tinggi atau dalam prosesnya terjadi penambahan nilai (Yamit, Zulian, 1998).
Casperz, Vincent (2001) mendefinisikan proses produksi sebagai integrasi sekuensial dari tenaga kerja, informasi, mede kerja, dan mesin-mesin atau peralatan dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai tambah bagi produk agar dapat dijual dengan harga kompetitif dipasaran. Prses ini mengkonversi input terukur kedalam output terukur melalui sejumlah langkah yang terorganisai, (lihat pada gambar 2.1).
tahun 1970-an sejalan dengan semakin berkembangnya komputer dan ditemukannya berbagai konsep baru lainnya.
Salah satu alasan mengapa MRP digunakan secara cepat dan meluas sebagai teknik manajemen produksi yaitu karena MRP menggunakan kemampuan komputer untuk menyimpan dan mengelola data yang berguna dalam menjalankan kegiatan perusahaan. MRP dapat mengkoordinasikan kegiatan dari berbagai fungsi dalam perusahaan manufaktur, seperti teknik, produksi, dan pengadaan. Oleh karena itu, hal yang menarik dari MRP tidak hanya fungsinya sebagai penunjang dalam pengambilan keputusan, melainkan keseluruhan peranannya dalam kegiatan perusahaan.
MRP sangat bermanfaat bagi perencanaan kebutuhan material untuk komponen yang jumlah kebutuhannya dipengaruhi oleh komponen lain (dependent demand). Sistem MRP mengendalikan agar komponen yang diperlukan untuk kelancaran produksi dapat tersedia sesuai dengan yang dibutuhkan.
MRP memberikan peningkatan efisiensi karena jumlah persediaan, waktu produksi dan waktu pengiriman barang dapat direncanakan dengan lebih baik, karena ada keterpaduan dalam kegiatan yang didasarkan pada jadwal induk.
Moto dari MRP adalah memperoleh material yang tepat, dari sumber yang tepat, untuk penempatan yang tepat, pada waktu yang tepat. (Vincent Gasper, 2001).

KEPUTUSAN KELOMPOK

KEPUTUSAN KELOMPOK


1.Aturan-aturan dalam Keputusan Kelompok.
Keputusan yang diambil oleh seorang individu akan jauh lebih mudah dibandingkan dengan keputusan yang diambil oleh sekelompok orang. Suatu kelompok akan mengambil suatu keputusan bersama berdasarkan azas-azas tertentu. Karena setiap orang dalam kelompok mempunyai tata nilai yang berbeda-beda, maka akan muncul beberapa pilihan yang berbeda satu sama lain.

2. Aturan Mayoritas
Metode paling sederhana dalam keputusan kelompok adalah apa yang populer dikenal dengan “voting procedure” atau yang mengikuti aturan/hukum mayoritas. Aturan ini berbunyi, “Bila dalam suatu kelompok terdapat mayoritas anggota yang menyukai obyek a dibandingkan b, maka kelompok tersebut otomatis akan lebih menyukai a dibandingkan dengan b. Tetapi masalahnya menjadi lebih rumit, bila pilihan yang tersedia sudah melebihi dua, seperti contoh berikut ini:
Terdapat 3 alternatif a,b,c yang dipilih oleh kelompok yang terdiri dari 3 orang dengan preferensi berikut:
Individu ke 1 : a > b > c
Individu ke 2 : b > c > a
Individu ke 3 : c > a > b
Dengan hukum mayoritas dapat disimpulkan bahwa a > b karena ada 2 dari 3 orang yang mempunyai preferensi tersebut, demikina juga dengan b > c dan c > a.
Kondisi semacam ini menjadi intransitif, bila pilihan tidak konsisten, yaitu berlawanan dengan logika. Mekanisme pemilihan diantara a,b,c pada kenyataannya tidak dilakukan sekaligus tetapi tahap demi tahap. Dalam hal ini akan dihasilkan satu pilihan tergantung pada pasangan mana dulu yang diperbandingkan.
Bila urutan pemilihan adalah a dengan b, yang unggul baru dibandingkan kemudia bertahap c maka:
c (a dibandingkan dulu dengan b, dalam hal ini a lebih disukai dibandingkan b karena ada dua orang yang mempunyai preferensi tersebut. Lalu a yang sudah dilih dari pasangan a dan b dibandingkan dengan c. Ternyata c lebih disukai dibandingkan a, dengan alsan mayoritas yang sama.).
Bila urutan b-c-a maka: (b dibandingkan dulu dengan c, dalam hal ini b lebih disukai dibandingkan c karena ada dua orang yang mempunyai preferensi tersebut. Lalu b yang sudah dipilih dari pasangan b dan c ini dibandingkan dengan a. Ternyata a lebih disukai dibandingkan b, dengan alasan mayoritas yang sama.).
Keputusan kelompok diatas dapat diperoleh dengan hasil seperti diatas, apabila semua individu tidak mengetahui urutan preferensi individu yang lain. Akan lain halnya, bila seseorang sudah mengetahui urutan orang lain dan dia mengatur pilihannya, agar diperoleh hasil yang sesuai dengan harapan dia sendiri.
Contoh: Bila individu ke 1 menginginkan b yang unggul maka dia akan memasang urutan preferensinya dengan urutan: b>a>c. Dengan demikian bila urutan pemilihan adalah dengan membandingkan a dan b, kemudian pemenanganya dibandingkan dengan c, akan diperoleh:
(sesuai harapan individu 1).
Cara pengaturan dengan taktik diatas dikenal sebagai cara voting dengan menggunakan taktik.

Penerapan Strategi Pemasaran yang efektif untuk meraih Maket Share dengan menggunakan Analisis SWOT

Penerapan Strategi Pemasaran yang efektif untuk meraih Maket Share dengan menggunakan Analisis SWOT

Dalam pembahasan aspek pemasaran pembahasan yang dilakukan oleh aspek pemasaran adalah menentukan lokasi – lokasi pangsa pasar yang meminati produk yang dibuat oleh perusahaan ini. Dengan berbagai cara yaitu salah satunya dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis ini didasarkan pada pemikiran yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimumkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Analisi SWOT ini membandingkan antara factor eksternal peluang dan ancaman dengan factor internal kekuatan dan kelemahan. Berikut adalah cara membuat analisis SWOT :




Gambar 1.1 Analisis SWOT
Kuadran 1 : ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan perusahaan tersebut memiliki pelluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy).
Kuadran 2 : meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan ini masih memilki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi.
Kuadran 3 : perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi dilain pihak ia menghadapi bebrapa kendala/kelemahan internal. Kondisi bisinis pasa kuadaran 3 ini mirip dengan question mark pada BCG matrik. Focus strategi perusahaan ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik. Misalnya, Apple menggunakan strategi peninjauan kembali teknologi yang dipergunakan dengan cara menawarkan produk-produk baru dalam microcomputer
Kuadran 4 : ini merupakan situasi yang sangat tidak mengutungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal

Dalam aspek pemasaran perusahaan produk sepatu, masalah-masalah internal yang akan dihadapi oleh perusahaan ini khususnya bagian aspek pemasaran akan dapat diselesaikan dengan analisis SWOT yang sudah diterangkan diatas.

Rabu, 07 April 2010

Sistem Hukum Industri dan Perkembangannya dalam sistem hukum global

Sistem Hukum Industri dan Perkembangannya dalam sistem hukum global
Sistem hukum industri memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks serta multidisciplinary, yaitu menyangkut anasir-anasir berikut :
•Hukum sebagai sarana pembaharuan/ pembangunan di bidang industri dalam perspektif ilmu-ilmu yang lain
•Hukum industri dalam sistem kawasan berdasarkan hukum tata ruang
•Hukum industri dalam sistem perizinan yang bersifat lintas lembaga dan yurisdiksi hukum industri dalam perspektif global dan lokal
•Hukum alih teknologi, desain produksi dan hukum konstruksi serta standardisasi
•Masalah tanggungjawab dalam sistem hukum industri
•Pergeseran hudaya hukum dari ‘ command and control’ ke ‘self-regulatory system’

untuk mengurangi ongkos birokrasiKeterkaitan industri lokal dengan aturan main di industri global merupakan sebuah keniscayaan. Adanya GATT dan WTO yang merupakan wadah yang mengatur tata industri baru di dunia memaksa setiap negara yang apabila ingin ikut berpartisipasi dalam pusaran pergerakan ekonomi dunia harus menyesuaikan perangkat hukum dan standarisasi industrinya. Beberapa system hukum global yang harus diadopt dunia antara lain adalah aturan WTO mengenai penundukan sukarela terhadap aturan kelembagaan dunia, ketaatan kepada ketentuan mengenai tarif dan hambatan non tarif, ketentuan-ketentuan mengenai objek sengketa dan mekanisme penyelesaian sengketa, standardisasi dan penghormatan terhadap putusan hukum arbitrase.Interaksi dalam pergaulan nasional terhadap global mempengaruhi sistem hukum termasuk pengembangan sistem hukum nasional. Peran panel ahli menjadi lebih menonjol dibandingkan dengan peran birokrasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Muara daripada perkembangan sistem hukum adalah mendorong industrial self-regulatory system, sementara sistem hukum publik diharapkan hanya terbatas untuk mengatur tata lintas hukum perdata internasional, dan menjadi fasilitator dalam pengembangan tata dunia baru yang modern dan almost borderless. Kemajuan teknologi komunikasi memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan sistem hukum dan tata dunia baru tersebut.

Pemerintah Harus Siapkan Langkah Sikapi Lacey Act

Sumber :
SUARA PEMBARUAN, Kamis, 18 Desember 2008 Ekonomi

Pemerintah Harus Siapkan Langkah Sikapi Lacey Act
[JAKARTA] Pemerintah RI harus mencermati aturan-aturan dalam Lacey Act, undang-undang di Amerika Serikat, yang antara lain dimaksudkan untuk memerangi praktik pembalakan liar (illegal logging). Undang-undang ini mengatur larangan perdagangan produk berbahan baku ilegal, termasuk produk kayu atau berbahan baku kayu. Pemberlakuan Lacey Act terhadap produk kayu atau berbahan baku kayu, mewajibkan para eksportir dan importir membuat dokumen deklarasi yang meliputi informasi tentang nama spesies kayu yang digunakan, negara asal sumber bahan baku kayu, jumlah kubikasi dan ukuran kayu, serta nilainya. Koordinator Nasional Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi mengatakan, Pemerintah RI harus responsif menyikapi pemberlakuan Lacey Act pada 2009. "Jangan sampai pemerintah mengambil kebijakan kepepet, ketika pemberlakuan Lacey Act sudah di depan mata," kata Vanda di Jakarta, baru-baru ini. Pemerintah AS berencana memberlakukan Lacey Act untuk seluruh produk kayu atau berbahan baku kayu pada awal April 2009. Selanjutnya, pada Juli 2009 Lacey Act akan dikenakan terhadap produk kertas dan turunannya. Vanda mengingatkan, Pemerintah RI, dalam hal ini Departemen Kehutanan, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, harus menyiapkan langkah-langkah konkret menghadapi pemberlakuan Lacey Act. Sejumlah aturan yang ditetapkan dalam UU tersebut, terkait kegiatan impor produk-produk kayu atau berbahan baku kayu, sangat ketat. "Jika tidak ada langkah antisipasi khusus, dikhawatirkan krisis keuangan AS dan pemberlakuan Lacey Act, akan memberi dampak signifikan terhadap kinerja ekspor produk kayu (berbahan baku kayu) RI," katanya. Berdasarkan kajian Greenomics Indonesia, setidaknya ada empat langkah yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, berkonsultasi dengan Kedutaan Besar AS di Indonesia tentang kemungkinan penerapan batasan-batasan kayu legal berbasis hukum kehutanan RI. Kedua, berkonsultasi dengan WTO mengenai batasan-batasan penerapan Lacey Act dalam konteks perdagangan internasional. Ketiga, Dephut perlu menyiapkan satu paket Peraturan Menteri Kehutanan, yang merangkum seluruh aturan pelaksanaan terkait dengan legalitas kayu. Keempat, pemerintah perlu menggarisbawahi bahwa karakteristik Lacey Act adalah berbasis fakta, bukan berbasis dokumen. [H-13]

Pemerintah Harus Siapkan Langkah Sikapi Lacey Act

Sumber :
SUARA PEMBARUAN, Kamis, 18 Desember 2008 Ekonomi

Pemerintah Harus Siapkan Langkah Sikapi Lacey Act
JAKARTA Pemerintah RI harus mencermati aturan-aturan dalam Lacey Act, undang-undang di Amerika Serikat, yang antara lain dimaksudkan untuk memerangi praktik pembalakan liar (illegal logging). Undang-undang ini mengatur larangan perdagangan produk berbahan baku ilegal, termasuk produk kayu atau berbahan baku kayu. Pemberlakuan Lacey Act terhadap produk kayu atau berbahan baku kayu, mewajibkan para eksportir dan importir membuat dokumen deklarasi yang meliputi informasi tentang nama spesies kayu yang digunakan, negara asal sumber bahan baku kayu, jumlah kubikasi dan ukuran kayu, serta nilainya. Koordinator Nasional Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi mengatakan, Pemerintah RI harus responsif menyikapi pemberlakuan Lacey Act pada 2009. "Jangan sampai pemerintah mengambil kebijakan kepepet, ketika pemberlakuan Lacey Act sudah di depan mata," kata Vanda di Jakarta, baru-baru ini. Pemerintah AS berencana memberlakukan Lacey Act untuk seluruh produk kayu atau berbahan baku kayu pada awal April 2009. Selanjutnya, pada Juli 2009 Lacey Act akan dikenakan terhadap produk kertas dan turunannya. Vanda mengingatkan, Pemerintah RI, dalam hal ini Departemen Kehutanan, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, harus menyiapkan langkah-langkah konkret menghadapi pemberlakuan Lacey Act. Sejumlah aturan yang ditetapkan dalam UU tersebut, terkait kegiatan impor produk-produk kayu atau berbahan baku kayu, sangat ketat.
"Jika tidak ada langkah antisipasi khusus, dikhawatirkan krisis keuangan AS dan pemberlakuan Lacey Act, akan memberi dampak signifikan terhadap kinerja ekspor produk kayu (berbahan baku kayu) RI," katanya. Berdasarkan kajian Greenomics Indonesia, setidaknya ada empat langkah yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, berkonsultasi dengan Kedutaan Besar AS di Indonesia tentang kemungkinan penerapan batasan-batasan kayu legal berbasis hukum kehutanan RI. Kedua, berkonsultasi dengan WTO mengenai batasan-batasan penerapan Lacey Act dalam konteks perdagangan internasional. Ketiga, Dephut perlu menyiapkan satu paket Peraturan Menteri Kehutanan, yang merangkum seluruh aturan pelaksanaan terkait dengan legalitas kayu. Keempat, pemerintah perlu menggarisbawahi bahwa karakteristik Lacey Act adalah berbasis fakta, bukan berbasis dokumen. [H-13]
Sumber :
SUARA PEMBARUAN, Kamis, 18 Desember 2008 Ekonomi

Pemerintah Harus Siapkan Langkah Sikapi Lacey Act
JAKARTA Pemerintah RI harus mencermati aturan-aturan dalam Lacey Act, undang-undang di Amerika Serikat, yang antara lain dimaksudkan untuk memerangi praktik pembalakan liar (illegal logging). Undang-undang ini mengatur larangan perdagangan produk berbahan baku ilegal, termasuk produk kayu atau berbahan baku kayu. Pemberlakuan Lacey Act terhadap produk kayu atau berbahan baku kayu, mewajibkan para eksportir dan importir membuat dokumen deklarasi yang meliputi informasi tentang nama spesies kayu yang digunakan, negara asal sumber bahan baku kayu, jumlah kubikasi dan ukuran kayu, serta nilainya. Koordinator Nasional Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi mengatakan, Pemerintah RI harus responsif menyikapi pemberlakuan Lacey Act pada 2009. "Jangan sampai pemerintah mengambil kebijakan kepepet, ketika pemberlakuan Lacey Act sudah di depan mata," kata Vanda di Jakarta, baru-baru ini. Pemerintah AS berencana memberlakukan Lacey Act untuk seluruh produk kayu atau berbahan baku kayu pada awal April 2009. Selanjutnya, pada Juli 2009 Lacey Act akan dikenakan terhadap produk kertas dan turunannya. Vanda mengingatkan, Pemerintah RI, dalam hal ini Departemen Kehutanan, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, harus menyiapkan langkah-langkah konkret menghadapi pemberlakuan Lacey Act. Sejumlah aturan yang ditetapkan dalam UU tersebut, terkait kegiatan impor produk-produk kayu atau berbahan baku kayu, sangat ketat.
"Jika tidak ada langkah antisipasi khusus, dikhawatirkan krisis keuangan AS dan pemberlakuan Lacey Act, akan memberi dampak signifikan terhadap kinerja ekspor produk kayu (berbahan baku kayu) RI," katanya. Berdasarkan kajian Greenomics Indonesia, setidaknya ada empat langkah yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, berkonsultasi dengan Kedutaan Besar AS di Indonesia tentang kemungkinan penerapan batasan-batasan kayu legal berbasis hukum kehutanan RI. Kedua, berkonsultasi dengan WTO mengenai batasan-batasan penerapan Lacey Act dalam konteks perdagangan internasional. Ketiga, Dephut perlu menyiapkan satu paket Peraturan Menteri Kehutanan, yang merangkum seluruh aturan pelaksanaan terkait dengan legalitas kayu. Keempat, pemerintah perlu menggarisbawahi bahwa karakteristik Lacey Act adalah berbasis fakta, bukan berbasis dokumen. [H-13]

UU Minerba lindungi izin KK & PKP2B

Sumber :Bisnis Indonesia
Jumat, 26 Desember 2008

UU Minerba lindungi izin KK & PKP2B

JAKARTA: UU Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru disahkan merupakan upaya untuk mencari titik aman di mata kreditor dengan tidak merevisi kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara. Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan kondisi tersebut sebagai bentuk kentalnya ketakutan pemerintah terhadap negara-negara kreditor yang perusahaannya memiliki kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara di Indonesia. "Apalagi dalam situasi krisis keuangan global, pemerintah tentu tidak akan berani merevisi dan atau memutuskan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara tersebut," ujar Elfian Effendi kepada Bisnis di Jakarta, pekan ini.Kondisi tersebut, menurutnya, contoh nyata betapa Indonesia sudah masuk dalam jebakan utang luar negeri (debt trap). "Sehingga, pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara-yang di dalam UU Minerba yang baru-tertulis berasaskan keberpihakan kepada kepentingan bangsa, sebetulnya hanya sebagai retorika dan wacana," ujar Elfian.
Dia mengatakan dalam merespons krisis keuangan global saat ini, pemerintah masih membuat utang baru, baik kepada negara kreditor maupun secara multilateral, seperti lewat Bank Dunia."Yang menguasai lembaga multilateral pemberi pinjaman itu adalah negara kreditor Indonesia. Tentu mereka akan mempertanyakan jika kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara milik perusahaan dari negaranya dibekukan sepihak melalui UU Minerba yang baru. Konsekuensinya, tentu saja utang luar negeri yang baru tidak bakal disetujui," jelasnya.Artinya, lanjut Elfian, pemerintah memang tidak akan bisa berkutik dalam hal kedaulatan pengelolaan sumber daya alam RI, terutama pertambangan umum dan migas, sepanjang utang luar negeri masih besar dan membebankan secara signifikan.
Koordinator Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan UU Minerba mengabaikan laut sebagai ruang hidup masyarakat.
Dari sudut pandang geografis, sosial dan ekologis, UU itu juga menafikan konsepsi Indonesia sebagai negara kepulauan.Terlebih, UU Minerba mengedepankan keuntungan ekonomis semata daripada keberlanjutan sumberdaya pesisir dan laut serta kelangsungan hidup masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Penuh kontradiktif
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) ) Siti Maimunah menilai UU Minerba penuh pasal yang kontradiktif dan pada akhirnya tidak akan dapat diterapkan. "Yang utama adalah tidak adanya tahapan kaji ulang dan renegosiasi kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Jelas itu menyebabkan UU Minerba tidak akan operasional," tegasnya. Beberapa pasal di UU Minerba, lanjutnya, banyak yang kontradiktif yang bisa memberikan implikasi konflik di bidang agraria. Bahkan, dia menambahkan, dikhawatirkan sejumlah kawasan lindung dan hutan adat yang sudah semakin termarginalkan akan hilang, mengingat alih fungsi sejumlah kawasan ini dapat dilakukan atas izin dari pemerintah.
Siti mengatakan UU yang baru saja disahkan ini juga menggunakan mekanisme administratif dalam proses perizinannya. "Hal ini akan berakibat pada tidak efektifnya penanganan dampak pencemaran ataupun kerusakan lingkungan yang berdimensi ekologis," katanya.
Contohnya pencemaran pertambangan di perairan laut dapat meluas melampaui wilayah izin konsesi yang diberikan pemerintah. Selain itu, UU Minerba ini akan mempercepat rusaknya sarana dan infrastruktur karena dapat dimanfaatkan sebagai sarana pertambangan.
Dalam kesempatan itu, Siti menyatakan UU Minerba bertolak belakang dengan UU Lingkungan Hidup. "Kontradiksinya antara yang mengakui legal standing organisasi lingkungan hidup ketika mengajukan gugatan terhadap korporasi saat terjadi perusakan lingkungan," katanya.

Siapa yang Untung, Siapa Buntung

Sumber :
Kompas, Sabtu, 10 Mei 2008

Siapa yang Untung, Siapa Buntung?
Belum selesai Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap penyuapan anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Al Amin Nur Nasution, dalam kasus alih fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Bintan, Kepulauan Riau, muncul lagi kasus serupa. Anggota Komisi IV dari Fraksi Demokrat, Sarjan Tahir, telah ditahan dalam kasus alih fungsi hutan lindung seluas 600 hektar di Tanjung Api-api, Banyuasin, Sumatera Selatan.Ini yang terungkap. Bagaimana dengan yang belum?Sedikitnya 10 juta hektar hutan lindung dan kawasan konservasi dialihfungsikan tanpa melalui prosedur oleh pemerintah daerah selama 10 tahun terakhir. Ini merupakan salah satu dampak negatif pemekaran wilayah yang lebih mengedepankan lobi-lobi politik, ekonomi, isu-isu primordial, dan kurang memperhitungkan daya dukung lingkungan daerah tersebut. Para bupati, wali kota, sampai gubernur berlomba-lomba menerbitkan izin prinsip penggunaan hutan lindung dan kawasan konservasi untuk tujuan pembangunan perkebunan, pertambangan, atau pusat pemerintahan. Mereka sangat bergairah mengalihfungsikan hutan lindung atau kawasan konservasi dengan alasan menggenjot pendapatan asli daerah (PAD). Sebagian pemda dengan sengaja membiarkan kelompok masyarakat masuk ke hutan lindung lalu membangun kantung (enclave). Kantung baru itu—di luar 40 juta orang yang memang secara alamiah tinggal di kawasan hutan—dipakai sebagai alasan untuk menerbitkan izin prinsip penggunaan hutan. Berlandaskan izin prinsip itu, pengusaha perkebunan, pertambangan, atau pengusaha sektor nonkehutanan bebas membangun bisnisnya. Setelah itu, baru pemda memohon izin pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan agar pengalihfungsian hutan lindung dan kawasan konservasi menjadi ”sah”. Sebenarnya, praktik alih fungsi hutan secara ilegal bisa berlangsung selama 10 tahun tak luput dari kesalahan pemerintah pusat juga. Koordinator Program Nasional Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi mengatakan, seharusnya pemerintah menyiapkan sebuah peraturan pemerintah untuk mengatur tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 19 Ayat 3 menyebutkan, Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). PP itu harus memuat antara lain, kriteria fungsi hutan, cakupan luas (areal), pihak-pihak pelaksana penelitian, dan tata cara perubahan. Hasil analisis Greenomics Indonesia, pengalihfungsian yang melanggar prosedur itu menimbulkan kerugian langsung sedikitnya Rp 170,2 triliun dan kerugian tak langsung Rp 320,6 triliun.
Beban APBN
Kerugian langsung dihitung dari potensi tegakan kayu, produk kehutanan nonkayu, dan keanekaragaman hayati yang hilang. Kerugian tidak langsung dihitung dari hilangnya sumber air, potensi longsor, dan bencana alam lain. Bangsa Indonesia menanggung kerugian hampir Rp 500 triliun yang dibuat penguasa daerahnya secara terencana selama 10 tahun terakhir. Permukiman warga, sentra bisnis, sampai infrastruktur pemerintah yang menghabiskan investasi triliunan rupiah musnah begitu saja diterjang bencana alam. Kalau bencana alam sudah terjadi, biasanya pemda akan bertingkah seperti orang linglung dan berakting sebagai korban musibah supaya pemerintah pusat mengalirkan dana segar. Tak terhitung dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)—yang seharusnya bisa dipakai untuk pembangunan baru—tersedot untuk membangun kembali daerah korban bencana alam.
Penegakan hukum
Sudah waktunya pemerintah tegas soal alih fungsi hutan lindung dan kawasan konservasi secara ilegal. Penegak hukum harus mulai mengungkap kasus dugaan suap pengalihfungsian ilegal oleh pengusaha terhadap pejabat pemda. Menteri Kehutanan MS Kaban menyatakan, pihaknya tidak akan memproses permohonan pengalihfungsian hutan lindung dan kawasan konservasi yang bermasalah. Kaban menegaskan, pengalihfungsian hutan lindung dan konservasi tanpa izin pelepasan kawasan dari Dephut harus diproses hukum. Kalau sudah begini, siapa yang diuntungkan dengan konversi hutan lindung? (Hamzirwan)

Selamatkan Hutan Lindung

Sumber :
Koran Tempo, Jum’at, 09 Mei 2008
Selamatkan Hutan Lindung
Pemerintah mestinya terpacu mencegah penggerogotan hutan yang lebih luas. Data yang disodorkan oleh Greenomics Indonesia sungguh merisaukan. Lembaga swadaya masyarakat ini memperkirakan hutan lindung kita yang telah beralih fungsi mencapai 10 juta hektare. Angka ini sungguh fantastis karena hampir mendekati luas daratan Pulau Jawa. Pemerintah mestinya terpacu mencegah penggerogotan hutan yang lebih luas. Perkiraan itu sekaligus menunjukkan betapa cepatnya laju kerusakan hutan lindung di republik ini. Bandingkan saja dengan data yang dikeluarkan Departemen Kehutanan dua tahun lalu. Saat itu hutan lindung yang rusak atau beralih fungsi baru 6,3 juta hektare dari luas seluruh hutan lindung sekitar 32 juta hektare. Ini berarti dalam dua tahun terakhir 3,7 hektare hutan lindung telah lenyap. Dibanding luas seluruh hutan kita yang sekitar 120 juta hektare, angka kerusakan itu tidaklah seberapa. Masalahnya, kerusakan hutan produksi jauh lebih parah lagi, luasnya telah mencapai 50 juta hektare lebih. Laju kerusakannya pun lebih cepat, sekitar 3,8 juta hektare setiap tahun. Maka, diprediksi dalam 10 sampai 15 tahun lagi hutan di negeri ini akan lenyap sama sekali jika tidak ada langkah penyelamatan. Hutan lindung jelas perlu diselamatkan karena fungsinya yang amat vital. Inilah ekosistem yang menyangga kehidupan, yakni mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi, serta memelihara kesuburan tanah. Jika hutan lindung dirusak, pasti akan mengganggu keseimbangan hidup di wilayah sekitarnya, bahkan bisa mendatangkan bencana alam. Ancaman itu rupanya tak dipedulikan. Penjarahan hutan lindung dilakukan lewat berbagai cara. Ada yang disulap menjadi lahan perkebunan dan pertanian. Tak sedikit pula yang diubah fungsinya menjadi arena konsesi hak pengusahaan hutan. Greenomics mencatat sedikitnya 500 ribu hektare hutan lindung di Sumatera Utara telah beralih fungsi. Di Riau, sekitar 143 ribu hektare hutan lindung sudah berubah menjadi area perkebunan. Fenomena yang sama juga terjadi antara lain di Aceh, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.Proses alih fungsi semestinya tak gampang karena hutan lindung diayomi oleh Undang-Undang Kehutanan. Persoalannya, pemerintah daerah, pemerintah pusat, juga Dewan Perwakilan Rakyat, seolah membiarkan penjarahan itu terjadi. Inilah yang terjadi pula dalam alih fungsi hutan lindung di Bintan, Kepulauan Riau, dan Air Talang di Sumatera Selatan, yang diributkan belakangan ini. Bahkan dua anggota DPR telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka diduga menerima suap berkaitan dengan proses alih fungsi hutan lindung itu. Skandal itu jelas harus diusut hingga tuntas oleh KPK. Tapi yang jauh lebih penting lagi adalah mendorong pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan lembaga legislatif agar memiliki komitmen yang kuat untuk menyelamatkan hutan lindung. Otonomi daerah tak bisa dijadikan alasan untuk menabrak kebijakan nasional sekaligus melanggar undang-undang. Jika hutan lindung saja dibiarkan dijarah, pemerintah dan parlemen akan semakin diragukan komitmennya dalam mempertahankan hutan secara keseluruhan.