Tinjauan Umum Pembangunan Industri Dalam Konsep/ Teori Pembangunan
Landasan teoretis konsep pembangunan dalam proses industrialisasi berevolusi mulai dari hanya yang menekankan kepada pertumbuhan hingga mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat setempat sebagai berikut
1.Growth model development concept, yang menekankan pada peran GNP dan Pendapatan Per Kapita
2.Economic growth and social change model development concept , yang menyatakan bahwa agar masyarakat dipersiapkan dengan peningkatan kemampuan masyarakat agar tidak tertinggal dan tergilas oleh modernisasi dan industrialisasi
3.Ethical value model of development concept, yang menyatakan bahwa disamping penyiapan masyarakat perlu juga memastikan agar nilai-nilai dasar, ideologi dan budaya masyarakat setempat tidak terserabut tetapi agar memberikan nilai tambah dalam kontribusi pembangunan.
Hukum dan proses pembangunan memiliki kaitan yang erat. Perancangan, perumusan dan analisis hukum memerlukan tools non hukum yang sifatnya multidisciplinary, seperti GIS, standardisasi, AMDAL, hukum pasar modal dan lain-lain. Untuk tercapainya keunggulan kompetitif suatu negara, maka sumber daya yang dimiliki seperti sumber daya alam, lingkungan, potensi geografis dan lain-lain perlu dioptimalkan dan dikombinasikan dengan IPTEK, ketersediaan softlaw berupa perangkat peraturan yang memadai dan mendukung kondusivitas investasi, dengan tetap menjaga dan membangun kesadaran perlindungan lingkungan ( environment conservatory awareness) demi tetap terjaganya konsep pembangunan industri yang berkelanjutan dalam perspektif global dan lokal. Pengandalan hanya kepada keunggulan kompetitif berdasarkan sumber daya (resource based development) dalam konteks persaingan global tidak sepenuhnya lagi dapat diandalkan. Karena itu knowledge based industri dalam bentuk penguasaan IPTEK, perlindungan Intellectual Property Rights harus dikemas dan dimaintain dalam skala yang optimal untuk tetap survive dalam persaingan dunia yang borderless dengan tetap melibatkan potensi kearifan lokal masyarakat.
Rabu, 24 Maret 2010
Sistem Hukum Industri dan Perkembangannya dalam sistem hukum global
Sistem Hukum Industri dan Perkembangannya dalam sistem hukum global
Sistem hukum industri memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks serta multidisciplinary, yaitu menyangkut anasir-anasir berikut :
•Hukum sebagai sarana pembaharuan/ pembangunan di bidang industri dalam perspektif ilmu-ilmu yang lain
•Hukum industri dalam sistem kawasan berdasarkan hukum tata ruang
•Hukum industri dalam sistem perizinan yang bersifat lintas lembaga dan yurisdiksi hukum industri dalam perspektif global dan lokal
•Hukum alih teknologi, desain produksi dan hukum konstruksi serta standardisasi
•Masalah tanggungjawab dalam sistem hukum industri
•Pergeseran hudaya hukum dari ‘ command and control’ ke ‘self-regulatory system’ untuk mengurangi ongkos birokrasi
Keterkaitan industri lokal dengan aturan main di industri global merupakan sebuah keniscayaan. Adanya GATT dan WTO yang merupakan wadah yang mengatur tata industri baru di dunia memaksa setiap negara yang apabila ingin ikut berpartisipasi dalam pusaran pergerakan ekonomi dunia harus menyesuaikan perangkat hukum dan standarisasi industrinya. Beberapa system hukum global yang harus diadopt dunia antara lain adalah aturan WTO mengenai penundukan sukarela terhadap aturan kelembagaan dunia, ketaatan kepada ketentuan mengenai tarif dan hambatan non tarif, ketentuan-ketentuan mengenai objek sengketa dan mekanisme penyelesaian sengketa, standardisasi dan penghormatan terhadap putusan hukum arbitrase.Interaksi dalam pergaulan nasional terhadap global mempengaruhi sistem hukum termasuk pengembangan sistem hukum nasional.
Peran panel ahli menjadi lebih menonjol dibandingkan dengan peran birokrasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Muara daripada perkembangan sistem hukum adalah mendorong industrial self-regulatory system, sementara sistem hukum publik diharapkan hanya terbatas untuk mengatur tata lintas hukum perdata internasional, dan menjadi fasilitator dalam pengembangan tata dunia baru yang modern dan almost borderless. Kemajuan teknologi komunikasi memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan sistem hukum dan tata dunia baru tersebut.
Sistem hukum industri memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks serta multidisciplinary, yaitu menyangkut anasir-anasir berikut :
•Hukum sebagai sarana pembaharuan/ pembangunan di bidang industri dalam perspektif ilmu-ilmu yang lain
•Hukum industri dalam sistem kawasan berdasarkan hukum tata ruang
•Hukum industri dalam sistem perizinan yang bersifat lintas lembaga dan yurisdiksi hukum industri dalam perspektif global dan lokal
•Hukum alih teknologi, desain produksi dan hukum konstruksi serta standardisasi
•Masalah tanggungjawab dalam sistem hukum industri
•Pergeseran hudaya hukum dari ‘ command and control’ ke ‘self-regulatory system’ untuk mengurangi ongkos birokrasi
Keterkaitan industri lokal dengan aturan main di industri global merupakan sebuah keniscayaan. Adanya GATT dan WTO yang merupakan wadah yang mengatur tata industri baru di dunia memaksa setiap negara yang apabila ingin ikut berpartisipasi dalam pusaran pergerakan ekonomi dunia harus menyesuaikan perangkat hukum dan standarisasi industrinya. Beberapa system hukum global yang harus diadopt dunia antara lain adalah aturan WTO mengenai penundukan sukarela terhadap aturan kelembagaan dunia, ketaatan kepada ketentuan mengenai tarif dan hambatan non tarif, ketentuan-ketentuan mengenai objek sengketa dan mekanisme penyelesaian sengketa, standardisasi dan penghormatan terhadap putusan hukum arbitrase.Interaksi dalam pergaulan nasional terhadap global mempengaruhi sistem hukum termasuk pengembangan sistem hukum nasional.
Peran panel ahli menjadi lebih menonjol dibandingkan dengan peran birokrasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Muara daripada perkembangan sistem hukum adalah mendorong industrial self-regulatory system, sementara sistem hukum publik diharapkan hanya terbatas untuk mengatur tata lintas hukum perdata internasional, dan menjadi fasilitator dalam pengembangan tata dunia baru yang modern dan almost borderless. Kemajuan teknologi komunikasi memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan sistem hukum dan tata dunia baru tersebut.
Potret masalah industri dan konsep pembangunan industri
Potret masalah industri dan konsep pembangunan industri
Gambaran empiris tentang land market dan lokasi industri melibatkan berbagai faktor seperti masalah pertanahan, perburuhan/ tenaga kerja, modal, ekologi dan lain-lain. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam bidang ini antara lain adalah seperti pilihan lokasi industri yang dikaitkan dengan harga tanah, ketersediaan infrastruktur, konsumen dan respon masyarakat sekitar. Hal tersebut utamanya adalah dari perspektif pengusaha yang dituntut untuk memaksimalkan profit dan shareholder value.
Pemerintah (host government) seyogianya tidak boleh hanya terpaku pada perspektif dan sudut pandang pengusaha semata, tetapi harus tetap dalam koridor misinya untuk mensejahterakan rakyat.Pemerintahan yang cerdas harus dapat memanfaatkan investasi yang masuk ke negaranya untuk menata dan merestrukturisasi perimbangan perekonomian masyarakat. Hal ini dapat dilakukan apabila pemerintah suatu negara memiliki visi yang jelas dalam tahapan maupun pilihan industri yang akan dikembangkan (center of excellence).
Pemerintah memiliki legitimasi dan instrumen yang memadai untuk hal itu dalam bentuk antara lain :a. Pembuatan aturan yang dapat memberikan insentif atau disinsentif fiskal untuk pengendalian harga tanah di lokasi tertentu ; b. Penyebaran sentra-sentra pembangunan (developing growth center); c. Insentif finansial sebagai upaya untuk mendorong pembangunan kawasan yang dikehendaki; d. Penegakan hukum secara tegas dan bijaksanaHal-hal tersebut di atas akan dapat diwujudkan apabila Pemerintah dapat bersinergi secara positif dengan dunia usaha (di Indonesia misalnya diwakili oleh asosiasi KADIN), mendapatkan legitimasi dan dukungan kuat dari suprastruktur serta amanah dalam menjalankan mandat demokratis yang melandasi pemerintahannya. Skala prioritas mutlak diperlukan untuk fokus kepada jenis industri tertentu yang pada gilirannya diharapkan dapat menjadi penggerak dan stimulan untuk pengembangan geliat sektor ekonomi lainnya. Masyarakat industri tidak dapat diciptakan dengan seketika. Hal tersebut adalah merupakan puncak dari amalgamasi dan pencapaian cerdas dari keuletan Pemerintah, bersama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam merumuskan, menjalankan dan mengevaluasi agenda dan set of vision yang clear mengenai potret dan arah industrialisasi yang diinginkan.
Gambaran empiris tentang land market dan lokasi industri melibatkan berbagai faktor seperti masalah pertanahan, perburuhan/ tenaga kerja, modal, ekologi dan lain-lain. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam bidang ini antara lain adalah seperti pilihan lokasi industri yang dikaitkan dengan harga tanah, ketersediaan infrastruktur, konsumen dan respon masyarakat sekitar. Hal tersebut utamanya adalah dari perspektif pengusaha yang dituntut untuk memaksimalkan profit dan shareholder value.
Pemerintah (host government) seyogianya tidak boleh hanya terpaku pada perspektif dan sudut pandang pengusaha semata, tetapi harus tetap dalam koridor misinya untuk mensejahterakan rakyat.Pemerintahan yang cerdas harus dapat memanfaatkan investasi yang masuk ke negaranya untuk menata dan merestrukturisasi perimbangan perekonomian masyarakat. Hal ini dapat dilakukan apabila pemerintah suatu negara memiliki visi yang jelas dalam tahapan maupun pilihan industri yang akan dikembangkan (center of excellence).
Pemerintah memiliki legitimasi dan instrumen yang memadai untuk hal itu dalam bentuk antara lain :a. Pembuatan aturan yang dapat memberikan insentif atau disinsentif fiskal untuk pengendalian harga tanah di lokasi tertentu ; b. Penyebaran sentra-sentra pembangunan (developing growth center); c. Insentif finansial sebagai upaya untuk mendorong pembangunan kawasan yang dikehendaki; d. Penegakan hukum secara tegas dan bijaksanaHal-hal tersebut di atas akan dapat diwujudkan apabila Pemerintah dapat bersinergi secara positif dengan dunia usaha (di Indonesia misalnya diwakili oleh asosiasi KADIN), mendapatkan legitimasi dan dukungan kuat dari suprastruktur serta amanah dalam menjalankan mandat demokratis yang melandasi pemerintahannya. Skala prioritas mutlak diperlukan untuk fokus kepada jenis industri tertentu yang pada gilirannya diharapkan dapat menjadi penggerak dan stimulan untuk pengembangan geliat sektor ekonomi lainnya. Masyarakat industri tidak dapat diciptakan dengan seketika. Hal tersebut adalah merupakan puncak dari amalgamasi dan pencapaian cerdas dari keuletan Pemerintah, bersama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam merumuskan, menjalankan dan mengevaluasi agenda dan set of vision yang clear mengenai potret dan arah industrialisasi yang diinginkan.
Analisis Kelayakan Usaha Kecil Pemanfaatan Limbah Kayu Menjadi Produk Kerajinan Taplak Meja.
a.Judul Program
Analisis Kelayakan Usaha Kecil Pemanfaatan Limbah Kayu Menjadi Produk Kerajinan Taplak Meja.
b.Latar Belakang Masalah
Menurut Kristoferon dan Bolkaders, (1991) limbah dibagi menjadi 2 jenis yaitu limbah organik dan non organik Limbah organik merupakan limbah yang dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tanah dan air.
Sampah organik berasal dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan, kegiatan rumah tangga, industri atau kegiatan lainnya( sampah dapur, sisa sayuran, kulit buah, buah busuk, kertas, daun-daunan, jerami, dan sekam). Sampah organik ini dengan mudah dapat diuraikan dalam proses alami. Sumber Kristoferon dan Bolkaders, (1991).
Sedangkan limbah non organik merupakan limbah yang tidak dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tanah dan air. Sedangkan yang termasuk sampah anorganik adalah, plastik, kaleng, besi, plastik air kemasan, plastik sisa sampo, kaca, kain perca dsbnya.S dan NH3. Gas H2S dan NH3 yang dihasilkan, walaupun jumlahnya sedikit, namun dapat menyebabkan bau yang tidak enak. Sumber Kristoferon dan Bolkaders, (1991). Di Indonesia limbah organik mencapai 70%, sedangkan limbah non organik mencapai 30 % Salah satu limbah organik yang ada di Indonesia adalah limbah kayu. Limbah kayu termasuk salah satu jenis limbah organik yang biasa dihasilkan dari sisa pemotongan kayu yang berasal dari industri pengolahan kayu dan nonkayu yang diperkirakan mencapai 60 juta m3/tahun. (www.pengolahan limbah kayu.com).
Potensi sampah di Bekasi sangat besar, khusus untuk sampah rumah
tangga, jumlah sampah yang diproduksi warga Jakarta mencapai 5.000 ton dan
600 ton di antaranya sampah rumah tangga. Dengan rincian, 70 persen sampah
organik, dan 30 persennya sampah anorganik.
Di Indonesia terdapat tiga macam industri pengolahan kayu yang menggunakan kayu dalam jumlah relatif besar, yaitu: penggergajian, vinir/kayu lapis, dan pulp/kertas. Hingga saat ini limbah biomassa dari industri tersebut hanya dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Limbah kayu yang banyak dijumpai di tempat pengolahan kayu biasanya dibiarkan dimakan rayap, dibakar, atau terkadang dibuang begitu saja. Hal ini mengakibatkan berbagai kerugian, seperti pencemaran sungai akibat limbah kayu yang dibuang ke sungai, pencemaran udara yang disebabkan oleh pembakaran limbah kayu, dan kotornya lingkungan akibat pembuangan serbuk kayu di sembarang tempat. Produksi total kayu gergajian Indonesia mencapai 2.6 juta m3 per tahun (Forestry Statistics of Indonesia 1997/1998). Dengan asumsi bahwa jumlah limbah yang terbentuk 54.24 persen dari produksi total (Martawijaya dan Sutigno 1990), maka dihasilkan limbah penggergajian sebanyak 1.4 juta m3 per tahun; angka ini cukup besar karena mencapai sekitar separuh dari produksi kayu gergajian.
Pemanfaatan limbah kayu yang lebih memberikan nilai tambah dan nilai ekonomis antara lain adalah menjadi alternatif bahan baku aneka produk kerajinan. Misalnya produk dalam bentuk souvenir, pewadahan, dan bentuk karya seni lainnya seperti patung, mainan anak-anak, alat olah raga, alat terapi kesehatan dan sebagainya (www.pemanfaatan limbah kayu.com). Salah satu pemanfaatan limbah kayu dalam usaha kerajinan adalah sebagai bahan baku pembuatan taplak meja. Kelebihan yang ada pada produk ini adalah terletak nilai estetika dan keunikan yang mampu ditampilkan oleh sifat dan struktur bahan baku limbah kayu. Selain itu pemanfaatan limbah kayu sebagai bahan baku produk taplak meja diharapkan mampu mengembangkan usaha kecil baru yang memberikan nilai tambah dan nilai ekonomis bagi masyarakat, karena pembuatan kerajinan taplak meja dengan menggunakan limbah kayu ini dapat dilakukan dengan teknologi yang cukup sederhana, tenaga kerja yang relatif sedikit, dan modal investasi yang relatif kecil.Untuk menciptakan usaha kecil pengolahan taplak meja berbahan baku limbah kayu yang berhasil, dibutuhkan suatu analisis usaha yang komprehensif. Analisis usaha dibutuhkan untuk mengetahui kelayakan usaha kecil pengolahan taplak meja berbahan baku limbah kayu, meliputi kelayakan pasar, teknis dan teknologi, serta finansial. Analisis kelayakan pasar perlu dilakukan untuk mengetahui pasar sasaran dan bagaimana minat masyarakat terhadap rencana desain taplak meja. Analisis kelayakan teknis dan teknologi dilakukan untuk mengetahui jenis limbah kayu yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku taplak meja, alternatif desain produk taplak meja berbahan baku limbah kayu, prosedur atau cara pembuatan taplak meja, dan menentukan kapasitas produksi.
Analisis kelayakan finansial meliputi penentuan jumlah investasi, struktur finansial, estimasi biaya produksi, estimasi penerimaan, cash flow, dan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas kelayakan investasi perlu dilakukan untuk mengetahui sampai seberapa besar (dalam persen) perubahan dari pengeluaran dan atau pendapatan, sehingga usaha kecil pengolahan taplak meja berbahan baku limbah kayu tidak layak dilaksanakan.
c.Perumusan Masalah
Limbah kayu yang banyak dijumpai di tempat penggergajian, usaha pembuatan kusen, dan usaha furnitur biasanya dibiarkan dimakan rayap, dibakar, atau dibuang di sembarang tempat. Berdasarkan sifat dan struktur bahannya, limbah kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan produk taplak meja. Permasalahan yang ingin dipecahkan adalah:
(1)Siapa pasar sasaran dan bagaimana minat masyarakat terhadap rencana desain taplak meja.
(2)Jenis limbah kayu apa yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku produk taplak meja berbahan baku limbah kayu?
(3) Bagaimana alternatif desain produk taplak meja berbahan baku limbah kayu?
(4) Bagaimana proses cara pembuatan taplak meja berbahan baku limbah kayu?
(5) berapa target penjualan produk taplak meja berbahan baku limbah kayu?
(6) Bagaimana kelayakan finansial untuk pembuatan produk taplak meja berbahan baku limbah kayu?
d.Tujuan Program
Tujuan program ini adalah menganalisis kelayakan usaha pengolahan limbah kayu menjadi bahan produk kerajinan taplak meja.
e.Luaran yang Diharapkan
Luaran yang diharapkan dari hasil program ini adalah dihasilkannya analisis kelayakan usaha pemanfaatan limbah kayu sebagai bahan baku produk taplak meja. Tahapan yang diperlukan untuk menghasilkan luaran tersebut adalah:
(1) Melakukan analisis kelayakan pasar
Kelayakan pasar meliputi penentuan pasar sasaran dan menjaring minat masyarakat terhadap rencana desain taplak meja.
(2) Melakukan analisis kelayakan teknis dan teknologi
Kelayakan teknis dan teknologi meliputi pemilihan jenis limbah kayu yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku taplak meja, perencanaan produk dengan membuat alternatif desain produk taplak meja berbahan baku limbah kayu, perencanaan proses untuk menentukan cara pembuatan taplak meja, dan perencanaan produksi untuk menentukan kapasitas produksi.
(3) Melakukan analisis kelayakan finansial
Kelayakan finansial meliputi penentuan jumlah investasi, struktur finansial, estimasi biaya produksi, estimasi penerimaan, cash flow, dan analisis sensitivitas.
f.Kegunaan Program
Kegunaan dari program ini adalah memberikan alternatif usaha kecil berbahan baku murah bagi masyarakat, dan sekaligus mengurangi dampak negatif dari limbah kayu.
Analisis Kelayakan Usaha Kecil Pemanfaatan Limbah Kayu Menjadi Produk Kerajinan Taplak Meja.
b.Latar Belakang Masalah
Menurut Kristoferon dan Bolkaders, (1991) limbah dibagi menjadi 2 jenis yaitu limbah organik dan non organik Limbah organik merupakan limbah yang dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tanah dan air.
Sampah organik berasal dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan, kegiatan rumah tangga, industri atau kegiatan lainnya( sampah dapur, sisa sayuran, kulit buah, buah busuk, kertas, daun-daunan, jerami, dan sekam). Sampah organik ini dengan mudah dapat diuraikan dalam proses alami. Sumber Kristoferon dan Bolkaders, (1991).
Sedangkan limbah non organik merupakan limbah yang tidak dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tanah dan air. Sedangkan yang termasuk sampah anorganik adalah, plastik, kaleng, besi, plastik air kemasan, plastik sisa sampo, kaca, kain perca dsbnya.S dan NH3. Gas H2S dan NH3 yang dihasilkan, walaupun jumlahnya sedikit, namun dapat menyebabkan bau yang tidak enak. Sumber Kristoferon dan Bolkaders, (1991). Di Indonesia limbah organik mencapai 70%, sedangkan limbah non organik mencapai 30 % Salah satu limbah organik yang ada di Indonesia adalah limbah kayu. Limbah kayu termasuk salah satu jenis limbah organik yang biasa dihasilkan dari sisa pemotongan kayu yang berasal dari industri pengolahan kayu dan nonkayu yang diperkirakan mencapai 60 juta m3/tahun. (www.pengolahan limbah kayu.com).
Potensi sampah di Bekasi sangat besar, khusus untuk sampah rumah
tangga, jumlah sampah yang diproduksi warga Jakarta mencapai 5.000 ton dan
600 ton di antaranya sampah rumah tangga. Dengan rincian, 70 persen sampah
organik, dan 30 persennya sampah anorganik.
Di Indonesia terdapat tiga macam industri pengolahan kayu yang menggunakan kayu dalam jumlah relatif besar, yaitu: penggergajian, vinir/kayu lapis, dan pulp/kertas. Hingga saat ini limbah biomassa dari industri tersebut hanya dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Limbah kayu yang banyak dijumpai di tempat pengolahan kayu biasanya dibiarkan dimakan rayap, dibakar, atau terkadang dibuang begitu saja. Hal ini mengakibatkan berbagai kerugian, seperti pencemaran sungai akibat limbah kayu yang dibuang ke sungai, pencemaran udara yang disebabkan oleh pembakaran limbah kayu, dan kotornya lingkungan akibat pembuangan serbuk kayu di sembarang tempat. Produksi total kayu gergajian Indonesia mencapai 2.6 juta m3 per tahun (Forestry Statistics of Indonesia 1997/1998). Dengan asumsi bahwa jumlah limbah yang terbentuk 54.24 persen dari produksi total (Martawijaya dan Sutigno 1990), maka dihasilkan limbah penggergajian sebanyak 1.4 juta m3 per tahun; angka ini cukup besar karena mencapai sekitar separuh dari produksi kayu gergajian.
Pemanfaatan limbah kayu yang lebih memberikan nilai tambah dan nilai ekonomis antara lain adalah menjadi alternatif bahan baku aneka produk kerajinan. Misalnya produk dalam bentuk souvenir, pewadahan, dan bentuk karya seni lainnya seperti patung, mainan anak-anak, alat olah raga, alat terapi kesehatan dan sebagainya (www.pemanfaatan limbah kayu.com). Salah satu pemanfaatan limbah kayu dalam usaha kerajinan adalah sebagai bahan baku pembuatan taplak meja. Kelebihan yang ada pada produk ini adalah terletak nilai estetika dan keunikan yang mampu ditampilkan oleh sifat dan struktur bahan baku limbah kayu. Selain itu pemanfaatan limbah kayu sebagai bahan baku produk taplak meja diharapkan mampu mengembangkan usaha kecil baru yang memberikan nilai tambah dan nilai ekonomis bagi masyarakat, karena pembuatan kerajinan taplak meja dengan menggunakan limbah kayu ini dapat dilakukan dengan teknologi yang cukup sederhana, tenaga kerja yang relatif sedikit, dan modal investasi yang relatif kecil.Untuk menciptakan usaha kecil pengolahan taplak meja berbahan baku limbah kayu yang berhasil, dibutuhkan suatu analisis usaha yang komprehensif. Analisis usaha dibutuhkan untuk mengetahui kelayakan usaha kecil pengolahan taplak meja berbahan baku limbah kayu, meliputi kelayakan pasar, teknis dan teknologi, serta finansial. Analisis kelayakan pasar perlu dilakukan untuk mengetahui pasar sasaran dan bagaimana minat masyarakat terhadap rencana desain taplak meja. Analisis kelayakan teknis dan teknologi dilakukan untuk mengetahui jenis limbah kayu yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku taplak meja, alternatif desain produk taplak meja berbahan baku limbah kayu, prosedur atau cara pembuatan taplak meja, dan menentukan kapasitas produksi.
Analisis kelayakan finansial meliputi penentuan jumlah investasi, struktur finansial, estimasi biaya produksi, estimasi penerimaan, cash flow, dan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas kelayakan investasi perlu dilakukan untuk mengetahui sampai seberapa besar (dalam persen) perubahan dari pengeluaran dan atau pendapatan, sehingga usaha kecil pengolahan taplak meja berbahan baku limbah kayu tidak layak dilaksanakan.
c.Perumusan Masalah
Limbah kayu yang banyak dijumpai di tempat penggergajian, usaha pembuatan kusen, dan usaha furnitur biasanya dibiarkan dimakan rayap, dibakar, atau dibuang di sembarang tempat. Berdasarkan sifat dan struktur bahannya, limbah kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan produk taplak meja. Permasalahan yang ingin dipecahkan adalah:
(1)Siapa pasar sasaran dan bagaimana minat masyarakat terhadap rencana desain taplak meja.
(2)Jenis limbah kayu apa yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku produk taplak meja berbahan baku limbah kayu?
(3) Bagaimana alternatif desain produk taplak meja berbahan baku limbah kayu?
(4) Bagaimana proses cara pembuatan taplak meja berbahan baku limbah kayu?
(5) berapa target penjualan produk taplak meja berbahan baku limbah kayu?
(6) Bagaimana kelayakan finansial untuk pembuatan produk taplak meja berbahan baku limbah kayu?
d.Tujuan Program
Tujuan program ini adalah menganalisis kelayakan usaha pengolahan limbah kayu menjadi bahan produk kerajinan taplak meja.
e.Luaran yang Diharapkan
Luaran yang diharapkan dari hasil program ini adalah dihasilkannya analisis kelayakan usaha pemanfaatan limbah kayu sebagai bahan baku produk taplak meja. Tahapan yang diperlukan untuk menghasilkan luaran tersebut adalah:
(1) Melakukan analisis kelayakan pasar
Kelayakan pasar meliputi penentuan pasar sasaran dan menjaring minat masyarakat terhadap rencana desain taplak meja.
(2) Melakukan analisis kelayakan teknis dan teknologi
Kelayakan teknis dan teknologi meliputi pemilihan jenis limbah kayu yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku taplak meja, perencanaan produk dengan membuat alternatif desain produk taplak meja berbahan baku limbah kayu, perencanaan proses untuk menentukan cara pembuatan taplak meja, dan perencanaan produksi untuk menentukan kapasitas produksi.
(3) Melakukan analisis kelayakan finansial
Kelayakan finansial meliputi penentuan jumlah investasi, struktur finansial, estimasi biaya produksi, estimasi penerimaan, cash flow, dan analisis sensitivitas.
f.Kegunaan Program
Kegunaan dari program ini adalah memberikan alternatif usaha kecil berbahan baku murah bagi masyarakat, dan sekaligus mengurangi dampak negatif dari limbah kayu.
Perjalanan Keberadaan Ilmu Hukum untuk mewujudkan ilmu hukum menjadi sebenar ilmu
Sejak abad 19, muncul pandangan yang meragukan posisi keilmiahan dari Ilmu Hukum. J.H. von Kirchmann pada tahun 1848 dalam sebuah pidatonya yang diberi judul Die Wertlosigkeit der Jurisprudenz als Wissenschaft (Ketakberhargaan Ilmu Hukum sebagai Ilmu) menyatakan bahwa Ilmu Hukum itu adalah bukan ilmu. Pada abad 20, juga muncul pandangan yang menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum. Hal ini tercermin dari karya A.V. Lundstedt yang berjudul Die Inwissenschaftlichkeit der Rechtswissenshaft (Ketakilmiahan Ilmu Hukum) yang terbit pada tahun 1932.
Berdasarkan metodenya, A.V. Lundstedt dengan tegas menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum.14 Dalam kaitan ini J.H. von Kirchmann berpendapat bahwa obyek studi dari apa yang dinamakan Ilmu Hukum itu adalah hukum positif yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat. Begitu Ilmu Hukum selesai memaparkan sistem hukum positif yang berlaku dalam masyarakat, maka hasil pemaparannya itu akan tertinggal oleh dinamika hukum positif itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hakikat dari sistem hukum positif itu yang selalu bergerak dinamis dan berubah-ubah mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Dengan latar yang demikian ini, maka Kirchmann sampai pada kesimpulan bahwa objek dari Ilmu Hukum itu - tidak seperti ilmu lainnya yang memiliki sifat universal – bersifat lokal. Objek Ilmu Hukum tidak dapat dipegang oleh Ilmu Hukum karena selalu berubah-ubah dan berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.15 Jadi, Ilmu Hukum tidak memiliki landasan keilmuan sebagaimana yang dimiliki oleh ilmu lain, demikian inti pandangan yang menolak keilmuan dari Ilmu Hukum.
Atas pandangan yang minor terhadap Ilmu Hukum tersebut, Paul Scholten melalui karyanya berjudul De Structuur der Rechtswetenschap yang terbit pada tahun 1942 mencoba menjernihkan tentang status ilmu hukum sebagai ilmu yang
sesungguhnya. Dalam karyanya ini, Scholten secara ringkas, jernih dan dan jelas memaparkan pandangannya tentang hukum, keadilan dan Ilmu Hukum. Di Indonesia sendiri, perdebatan tentang ontologi dan epistemologi dari Ilmu Hukum mulai marak pada tahun 1970-an. Munculnya pemikiran-pemikiran sosiologis dalam kajian Ilmu Hukum menimbulkan reaksi yang cukup signifikan dari Ilmu Hukum dogmatis. Sebagaimana diketahui, Ilmu Hukum yang dibangun dan dikembangkan di Indonesia, sebagai bekas jajahan Belanda, hingga menjelang tahun 1970 adalah berlandaskan pada pemikiran positivisme hukum. Di dalam pengaruh paradigma positivisme,para pelaku hukum menempatkan diri dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis dan berbasis peraturan (rule bound) sehingga tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat atau mengakui hal itu. Dalam ilmu hokum yang legalitis positivistis, hukum hanya dianggap sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan, termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme” melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dalam Negara modern, penerapan positivisme dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum walaupun dalam kenyataannya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan lebih banyak dihadapi.Salah satu kritikan terhadap positivisme adalah sebagaimana dikatakan oleh Anwarul Yaqin,pertama, bahwa tidak semua hukum lahir dari keinginan pihak yang berdaulat. berdaulat. Kedua,deskripsi Austin tentang hukum lebih mendekati hukum pidana yang membebankan kewajiban-kewajiban.Ketiga,rasa takut bukan satu-satunya motif sehingga orang menaati hukum,Terdapat banyak motif lain sehingga orang menaati hukum, seperti rasa respek terhadap hukum,simpati terhadap pemeliharaan tertib hukum, atau alasan yang sifatnya manusiawi. Rasa takut hanya motif tambahan. Keempat, definisi hukum dari kaum positivis tidak dapat diterapkan terhadap hukum tata negara, karena hukum tata negara tidak dapat digolongkan dalam perintah dari yang berdaulat. Hukum tata negara dari suatu negara didefinisikan sebagai kekuasaan dari berbagai organ dari suatu negara, termasuk kekuasaan dari kedaulatan politik.18 Dari sisi kritik praktis, Achmad Gunaryo menjelaskan bahwa ilmu hukum konvensional (positivistis),juga logika hukum, gagal menjelaskan secara meyakinkan sejumlah peristiwa social kemanusian. Munculnya sosiologi dalam Ilmu Hukum dikarenakan ingin melihat hakikat hukum yang tidak terbatas pada teks normatif yang abstrak. Tetapi lebih jauh dari itu, hukum ingin dilihat dalam segenap kompleksitasnya dalam interaksinya dengan alam realitas empirik sebagai medan tumbuh-kembangnya hokum tersebut. Apakah bunyi aturan hukum benar-benar berfungsi atau tidak berfungsi dalam realitas empirik. Hal tersebut tidak akan diketahui jika hanya melakukan pengamatan terhadap ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi dan formal. Untuk itu dibutuhkan penggunaan sosiologi dalam Ilmu Hukum. Terdapat beberapa faktor yang mendorong perkembangan minat terhadap sosiologi hukum, yaitu: perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan-hubungan sosial (termasuk sudah perubahan fisik dan teknologis)’ ketidaksesuaian antara ideal dan kenyataan; dan sehubungan dengan kedua hal tersebut adalah terjadinya konflik-konflik nilai-nilai,konflik kepentingan dan sebagainya di dalam masyarakat.
Sumber :
Paul Scholten (2003) Struktur Ilmu Hukum. Terjemahan oleh B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, hal. v–vi.
Lebih lanjut baca Paul Scholten (1942) De Structuur der Rechtswetenschap, yang telah diterjemahkan oleh B. Arief
Sidharta (2003) dengan Judul Struktur Ilmu Hukum. Alumni, Bandung.
http://www.legalitas.org/
Berdasarkan metodenya, A.V. Lundstedt dengan tegas menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum.14 Dalam kaitan ini J.H. von Kirchmann berpendapat bahwa obyek studi dari apa yang dinamakan Ilmu Hukum itu adalah hukum positif yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat. Begitu Ilmu Hukum selesai memaparkan sistem hukum positif yang berlaku dalam masyarakat, maka hasil pemaparannya itu akan tertinggal oleh dinamika hukum positif itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hakikat dari sistem hukum positif itu yang selalu bergerak dinamis dan berubah-ubah mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Dengan latar yang demikian ini, maka Kirchmann sampai pada kesimpulan bahwa objek dari Ilmu Hukum itu - tidak seperti ilmu lainnya yang memiliki sifat universal – bersifat lokal. Objek Ilmu Hukum tidak dapat dipegang oleh Ilmu Hukum karena selalu berubah-ubah dan berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.15 Jadi, Ilmu Hukum tidak memiliki landasan keilmuan sebagaimana yang dimiliki oleh ilmu lain, demikian inti pandangan yang menolak keilmuan dari Ilmu Hukum.
Atas pandangan yang minor terhadap Ilmu Hukum tersebut, Paul Scholten melalui karyanya berjudul De Structuur der Rechtswetenschap yang terbit pada tahun 1942 mencoba menjernihkan tentang status ilmu hukum sebagai ilmu yang
sesungguhnya. Dalam karyanya ini, Scholten secara ringkas, jernih dan dan jelas memaparkan pandangannya tentang hukum, keadilan dan Ilmu Hukum. Di Indonesia sendiri, perdebatan tentang ontologi dan epistemologi dari Ilmu Hukum mulai marak pada tahun 1970-an. Munculnya pemikiran-pemikiran sosiologis dalam kajian Ilmu Hukum menimbulkan reaksi yang cukup signifikan dari Ilmu Hukum dogmatis. Sebagaimana diketahui, Ilmu Hukum yang dibangun dan dikembangkan di Indonesia, sebagai bekas jajahan Belanda, hingga menjelang tahun 1970 adalah berlandaskan pada pemikiran positivisme hukum. Di dalam pengaruh paradigma positivisme,para pelaku hukum menempatkan diri dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis dan berbasis peraturan (rule bound) sehingga tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat atau mengakui hal itu. Dalam ilmu hokum yang legalitis positivistis, hukum hanya dianggap sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan, termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme” melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dalam Negara modern, penerapan positivisme dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum walaupun dalam kenyataannya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan lebih banyak dihadapi.Salah satu kritikan terhadap positivisme adalah sebagaimana dikatakan oleh Anwarul Yaqin,pertama, bahwa tidak semua hukum lahir dari keinginan pihak yang berdaulat. berdaulat. Kedua,deskripsi Austin tentang hukum lebih mendekati hukum pidana yang membebankan kewajiban-kewajiban.Ketiga,rasa takut bukan satu-satunya motif sehingga orang menaati hukum,Terdapat banyak motif lain sehingga orang menaati hukum, seperti rasa respek terhadap hukum,simpati terhadap pemeliharaan tertib hukum, atau alasan yang sifatnya manusiawi. Rasa takut hanya motif tambahan. Keempat, definisi hukum dari kaum positivis tidak dapat diterapkan terhadap hukum tata negara, karena hukum tata negara tidak dapat digolongkan dalam perintah dari yang berdaulat. Hukum tata negara dari suatu negara didefinisikan sebagai kekuasaan dari berbagai organ dari suatu negara, termasuk kekuasaan dari kedaulatan politik.18 Dari sisi kritik praktis, Achmad Gunaryo menjelaskan bahwa ilmu hukum konvensional (positivistis),juga logika hukum, gagal menjelaskan secara meyakinkan sejumlah peristiwa social kemanusian. Munculnya sosiologi dalam Ilmu Hukum dikarenakan ingin melihat hakikat hukum yang tidak terbatas pada teks normatif yang abstrak. Tetapi lebih jauh dari itu, hukum ingin dilihat dalam segenap kompleksitasnya dalam interaksinya dengan alam realitas empirik sebagai medan tumbuh-kembangnya hokum tersebut. Apakah bunyi aturan hukum benar-benar berfungsi atau tidak berfungsi dalam realitas empirik. Hal tersebut tidak akan diketahui jika hanya melakukan pengamatan terhadap ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi dan formal. Untuk itu dibutuhkan penggunaan sosiologi dalam Ilmu Hukum. Terdapat beberapa faktor yang mendorong perkembangan minat terhadap sosiologi hukum, yaitu: perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan-hubungan sosial (termasuk sudah perubahan fisik dan teknologis)’ ketidaksesuaian antara ideal dan kenyataan; dan sehubungan dengan kedua hal tersebut adalah terjadinya konflik-konflik nilai-nilai,konflik kepentingan dan sebagainya di dalam masyarakat.
Sumber :
Paul Scholten (2003) Struktur Ilmu Hukum. Terjemahan oleh B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, hal. v–vi.
Lebih lanjut baca Paul Scholten (1942) De Structuur der Rechtswetenschap, yang telah diterjemahkan oleh B. Arief
Sidharta (2003) dengan Judul Struktur Ilmu Hukum. Alumni, Bandung.
http://www.legalitas.org/
PENGOLAHAN TEMPAT PARKIR YANG LEBIH TERTIB & AMAN
Perkembang teknologi pada saat ini selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan, karena teknologi tidak terlepas dari ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan berguna apabila dalam kenyataanya tidak dapt memanfaatkan teknologi tersebut. Pemanfaatan teknologi tersebut diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Perkembangan industri otomotif saat ini cukup pesat, keadaan ini dapat dilihat dengan berkembangannya industri otomotif yang lain, dari perkembangan industri otomotif tersebut ada dampak baik dan buruknya, seperti dampak baiknya seperti alat transportasi yang dapat mempercepat untuk menempuh perjalanan dengan aman, nyaman. Tetapi ada dampak buruknya untuk alat transportasi seperti mobil, motor, bus,dll. Sering terjadinya kemacetan, bertambahnya polusi, bertambahnya temapat lahan parker yang berantakan atau tidak tertib.
Pada kesempatan ini kami akan mengambil tema “Pengolahan Tempat parkir yang Lebih Tertib dan Aman”. Tempat parker ini ditekankan pada sebuah MALL, Hotel, Rumah sakit, Kampus. Dll. Yang melatar belakangi kami mengambil tema tersebut adalah banyak sekarang ini transportasi seperti mobil, motor menempatkan kendaraanya sembarang, tidak sedikit dari kendaran mereka tersebut dapat menggangu orang yang ingin berparkir kendaraanya. Kelompok kami ingin mencoba membenahi tempat parkir yang sudah ada dengan cara setiap masyarakat ingin parker didaerah yang disebutkan diatas diberi karcis, dan didalam karcis tersbut diberi nomor tempat parkir, dimana dia harus meletakkan kendaraan tersebut sesuai dengan karcis yang diberi oleh kasir tersebut. Setelah selesai parker karcis tersebut dikembalikan ke operator untuk pos keluar, jadi operator yang jaga dipintu masuk harus bekerja sama degan operator jaga keluar, mana saja tempat parkiir yang sudah kosong , dapat dilihat dari nomor tempat karcis yang sudah keluar tersebut. Dan informasi tersebut disampaikan untuk operator pos masuk. Jadi kesimpulan dari kelompok kami adalah.jika ada masyarakat ingin parker kendaraanya masuk ke mall, rumah sakit, dll. Akan diberi karcis dan ditentukan dimana kendaraan tersebut harus parker.agar parker lebih tertib tidak menggangu kendaraan yang ingin parker selanjutnya.
Perkembangan industri otomotif saat ini cukup pesat, keadaan ini dapat dilihat dengan berkembangannya industri otomotif yang lain, dari perkembangan industri otomotif tersebut ada dampak baik dan buruknya, seperti dampak baiknya seperti alat transportasi yang dapat mempercepat untuk menempuh perjalanan dengan aman, nyaman. Tetapi ada dampak buruknya untuk alat transportasi seperti mobil, motor, bus,dll. Sering terjadinya kemacetan, bertambahnya polusi, bertambahnya temapat lahan parker yang berantakan atau tidak tertib.
Pada kesempatan ini kami akan mengambil tema “Pengolahan Tempat parkir yang Lebih Tertib dan Aman”. Tempat parker ini ditekankan pada sebuah MALL, Hotel, Rumah sakit, Kampus. Dll. Yang melatar belakangi kami mengambil tema tersebut adalah banyak sekarang ini transportasi seperti mobil, motor menempatkan kendaraanya sembarang, tidak sedikit dari kendaran mereka tersebut dapat menggangu orang yang ingin berparkir kendaraanya. Kelompok kami ingin mencoba membenahi tempat parkir yang sudah ada dengan cara setiap masyarakat ingin parker didaerah yang disebutkan diatas diberi karcis, dan didalam karcis tersbut diberi nomor tempat parkir, dimana dia harus meletakkan kendaraan tersebut sesuai dengan karcis yang diberi oleh kasir tersebut. Setelah selesai parker karcis tersebut dikembalikan ke operator untuk pos keluar, jadi operator yang jaga dipintu masuk harus bekerja sama degan operator jaga keluar, mana saja tempat parkiir yang sudah kosong , dapat dilihat dari nomor tempat karcis yang sudah keluar tersebut. Dan informasi tersebut disampaikan untuk operator pos masuk. Jadi kesimpulan dari kelompok kami adalah.jika ada masyarakat ingin parker kendaraanya masuk ke mall, rumah sakit, dll. Akan diberi karcis dan ditentukan dimana kendaraan tersebut harus parker.agar parker lebih tertib tidak menggangu kendaraan yang ingin parker selanjutnya.
Payung Hukum Industri Sawit
Menteri Perindustrian MS. Hidayat mengakui ada beberapa pihak yang berupaya menghambat upaya pengembangan industri sawit nasional dengan isu lingkungan hidup. Hal itu disampaikan MS Hidayat usai peresmian pencanangan klaster industri berbasis pertanian dan oleochemical di Kantor Gubernur Sumut di Medan, Rabu. Hidayat mengatakan, produksi industri sawit Indonesia sangat diperhitungkan karena memiliki peranan yang dominan dalam perdagangan internasional. Namun tanpa diketahui motifnya katanya, ada saja pihak yang ingin menghambat berkembangnya produk sawit di tanah air. Dikatakan pihak-pihak itu beranggapan bahwa pengembangan usaha persawitan yang diterapkan pemerintah tidak sesuai dengan upaya penjagaan kelestarian lingkungan hidup. Namun tambahnya, pemerintah sedang berupaya untuk menyelesaikan masalah itu dengan mempersiapkan beberapa payung hukum. “Salah satunya adalah mempersipkan peraturan dari Kementerian Lingkungan Hidup,” kata Hidayat yang juga Ketua Umum Kadin itu.(*a/z)
Sumber: Thu, Jan 28, 2010 at 06:10 | Jakarta, matanews.com
Mewujudkan Landasan Keilmuan Ilmu Hukum
Mewujudkan Landasan Keilmuan Ilmu Hukum
Dalam kaitan dengan upaya untuk mewujudkan suatu landasan keilmuan
ilmu hukum yang holistik, maka langkah yang dilakukan tidak hanya menetapkan
unsur-unsur teoritis tentang apa dan bagaimana suatu objek, tetapi juga menentukan sebagai apa orang dapat memandang dan menjelaskan suatu fenomena. Dalam kapasitasnya sebagai sistem pemikiran yang mendasari suatu
disiplin ilmu, maka landasan keilmuan itu sekaligus menentukan sikap dasar terhadap pengetahuan dan hubungan pengetahuan tersebut dengan sasaran yang ingin diketahui, yaitu realitas.
Upaya untuk mewujudkan keilmuan dari ilmu hukum mau tidak mau perlu melihat pada dua aliran yang sampai dengan saat ini masih mempunyai pandangan yang berbeda namun sebenarnya dapat saling melengkapi. Yaitu pandangan dogmatik dan pandangan non-dogmatik, dapat dipandang sebagai suatu rahmat dan kekayaan dalam khazanah Ilmu Hukum. Sebagai bagian dari dinamika ilmu, hal ini sah-sah saja. Yang memprihantinkan ialah jika tolak tarik perbedaan tersebut menghasilkan sesuatu yang kontra produktif bagi perkembangan hukum. Dikatakan kontra produktif, karena para komunitas dari kedua kubu tersebut hanya sibuk berdebat dan bersilang sengketa mengenai kebenaran argumentasi dan aliran pemikiran yang dijadikan acuannya. Yang kemudian terjadi adalah mereka berkutat untuk saling mencari-cari kelemahan
masing-masing tanpa mau melihat dan berusaha memahami secara jernih tentang kelemahan dan keunggulan yang ada dari kedua pandangan tersebut. Sebagai implikasinya, kegiatan-kegiatan ilmiah, khususnya kegiatan penelitian masih berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan tanpa mengacu pada perencanaan atau pun kerangka konseptual dan teoretikalnya yang diterima secara umum oleh komunitas ilmuwan hukum. Itulah sebabnya, tidak heran hingga kini dalam Ilmu Hukum belum memiliki kesepakatan menyangkut dalil-dalil, konsep-konsep dan instrumentasi sebagai model untukm mengembangkan tradisi riset ilmiah yang terpadu. Menurut Bernard L. Tanya, ini
semua disebabkan oleh ketiadaan kesepakatan menyangkut segi ontologis dan epistemologis Ilmu Hukum di kalangan ilmuwan hukum sendiri.28 Di samping itu, adanya kecurigaan dari kalangan ilmuwan hukum bahwa masuknya sosiologi dalam kajian Ilmu Hukum barangkali dianggap sebagai suatu intervensi orang luar dalam masalah-masalah dalam negeri.29
Ketiadaan kesepakatan tentang dua landasan keilmuan juga belum mendapat solusi bagaimana menjembataninya. Sampai pada tahap ini tampaknya belum juga ada suatu kesepakatan untuk mengakhiri fenomena kegandaan dari Ilmu Hukum. Ketidaksepakatan tersebut jika dibiarkan terus niscaya kurang baik bagi perkembangan dan pembangunan Ilmu Hukum. Andai ada pernyataan bahwa Ilmu Hukum adalah ilmu yang membingungkan, barangkali hal itu tidak dapat disalahkan. Oleh karenanya harus diupayakan untuk mengakhiri ketidaksepakatan landasan keilmuan dari Ilmu Hukum. H. Ph. Visser ‘t Hooft dalam hal ini mengatakan bahwa Ilmu-ilmu Hukum (Rechtswetenschappen) mencakup semua kegiatan ilmiah yang mempunyai hukum sebagai objek-telaahnya. Kegiatan ilmiah ini sangat banyak jenisnya, yang tidak melulu kegiatan yang mengkaji aspek normatif dari hukum.
menempatkan hukum dalam konteks dari keseluruhan dunia-kehidupan
(lebenswelt) manusiawi kita.30 Atas dasar pemikiran yang demikian itu, Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa pemisahan secara ketat antara segi normatif dengan segi perilaku dari gejala kemasyarakatan akan menyesatkan, sebab akan terjadi dikotomi antara pendekatan yuridis dengan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi apabila disadari bahwa kedua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi, persoalan pokoknya bukanlah kembali pada segi normatifnya, namun bagaimana menyerasikan kedua segi tersebut sekaligus dengan sekalian pendekatan-pendekatannya. Lebih lanjut Soekanto mengatakan bahwa selama kalangan hukum sudah mempunyai kerangka pemikiran yang mantap, maka ‘bahaya’ dari sosiologi tidaklah perlu dikhawatirkan. Bahkan suatu keuntungan akan diperoleh darinya, yakni metode penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sosiologi akan dapat dimanfaatkan di dalam pengembangan Ilmu Hukum. Dengan demikian, kalangan ilmuwan hukum tidak perlu kembali ke penelitian hukum normatif. Yang perlu adalah suatu kesadaran bahwa penelitian hukum normatif dengan objek telaahnya teks-teks otoritatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis dengan objek telaahnya hukum sebagai gejala kemasyarakatan, adalah saling melengkapi. Keduanya merupakan segi-segi dari satu masalah. Di samping itu diperlukan juga suatu kesadaran bahwa jika hanya ada satu jenis penelitian, maka itu baru dilakukan kegiatan ilmiah yang belum lengkap. Melihat hukum hanya dari sisi normatifnya saja tentu tidak bias menggambarkan fakta empiriknya. Demikian juga melihat hukum dari sisi gejala kemasyarakatan tidak bisa menggambarkan hukum sebagai sistem atau tata norma yang positif, sebab ia hanya berhenti kepada deskripsi gejala-gejala saja.
Sumber :
www.legalitas.org
29 Soerjono Soekanto (1994) Ulasan Terhadap “Kembali Ke Metode Penelitian Hukum”. Dalam C.F.G. Sunaryati Hartono,
H. Ph. Visser ‘t Hooft (2003) Filsafat Ilmu Hukum. Terjemahan oleh Bernard Arief Sidharta, Laboratorium Hukum
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung, hal. 1- 5.
Dalam kaitan dengan upaya untuk mewujudkan suatu landasan keilmuan
ilmu hukum yang holistik, maka langkah yang dilakukan tidak hanya menetapkan
unsur-unsur teoritis tentang apa dan bagaimana suatu objek, tetapi juga menentukan sebagai apa orang dapat memandang dan menjelaskan suatu fenomena. Dalam kapasitasnya sebagai sistem pemikiran yang mendasari suatu
disiplin ilmu, maka landasan keilmuan itu sekaligus menentukan sikap dasar terhadap pengetahuan dan hubungan pengetahuan tersebut dengan sasaran yang ingin diketahui, yaitu realitas.
Upaya untuk mewujudkan keilmuan dari ilmu hukum mau tidak mau perlu melihat pada dua aliran yang sampai dengan saat ini masih mempunyai pandangan yang berbeda namun sebenarnya dapat saling melengkapi. Yaitu pandangan dogmatik dan pandangan non-dogmatik, dapat dipandang sebagai suatu rahmat dan kekayaan dalam khazanah Ilmu Hukum. Sebagai bagian dari dinamika ilmu, hal ini sah-sah saja. Yang memprihantinkan ialah jika tolak tarik perbedaan tersebut menghasilkan sesuatu yang kontra produktif bagi perkembangan hukum. Dikatakan kontra produktif, karena para komunitas dari kedua kubu tersebut hanya sibuk berdebat dan bersilang sengketa mengenai kebenaran argumentasi dan aliran pemikiran yang dijadikan acuannya. Yang kemudian terjadi adalah mereka berkutat untuk saling mencari-cari kelemahan
masing-masing tanpa mau melihat dan berusaha memahami secara jernih tentang kelemahan dan keunggulan yang ada dari kedua pandangan tersebut. Sebagai implikasinya, kegiatan-kegiatan ilmiah, khususnya kegiatan penelitian masih berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan tanpa mengacu pada perencanaan atau pun kerangka konseptual dan teoretikalnya yang diterima secara umum oleh komunitas ilmuwan hukum. Itulah sebabnya, tidak heran hingga kini dalam Ilmu Hukum belum memiliki kesepakatan menyangkut dalil-dalil, konsep-konsep dan instrumentasi sebagai model untukm mengembangkan tradisi riset ilmiah yang terpadu. Menurut Bernard L. Tanya, ini
semua disebabkan oleh ketiadaan kesepakatan menyangkut segi ontologis dan epistemologis Ilmu Hukum di kalangan ilmuwan hukum sendiri.28 Di samping itu, adanya kecurigaan dari kalangan ilmuwan hukum bahwa masuknya sosiologi dalam kajian Ilmu Hukum barangkali dianggap sebagai suatu intervensi orang luar dalam masalah-masalah dalam negeri.29
Ketiadaan kesepakatan tentang dua landasan keilmuan juga belum mendapat solusi bagaimana menjembataninya. Sampai pada tahap ini tampaknya belum juga ada suatu kesepakatan untuk mengakhiri fenomena kegandaan dari Ilmu Hukum. Ketidaksepakatan tersebut jika dibiarkan terus niscaya kurang baik bagi perkembangan dan pembangunan Ilmu Hukum. Andai ada pernyataan bahwa Ilmu Hukum adalah ilmu yang membingungkan, barangkali hal itu tidak dapat disalahkan. Oleh karenanya harus diupayakan untuk mengakhiri ketidaksepakatan landasan keilmuan dari Ilmu Hukum. H. Ph. Visser ‘t Hooft dalam hal ini mengatakan bahwa Ilmu-ilmu Hukum (Rechtswetenschappen) mencakup semua kegiatan ilmiah yang mempunyai hukum sebagai objek-telaahnya. Kegiatan ilmiah ini sangat banyak jenisnya, yang tidak melulu kegiatan yang mengkaji aspek normatif dari hukum.
menempatkan hukum dalam konteks dari keseluruhan dunia-kehidupan
(lebenswelt) manusiawi kita.30 Atas dasar pemikiran yang demikian itu, Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa pemisahan secara ketat antara segi normatif dengan segi perilaku dari gejala kemasyarakatan akan menyesatkan, sebab akan terjadi dikotomi antara pendekatan yuridis dengan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi apabila disadari bahwa kedua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi, persoalan pokoknya bukanlah kembali pada segi normatifnya, namun bagaimana menyerasikan kedua segi tersebut sekaligus dengan sekalian pendekatan-pendekatannya. Lebih lanjut Soekanto mengatakan bahwa selama kalangan hukum sudah mempunyai kerangka pemikiran yang mantap, maka ‘bahaya’ dari sosiologi tidaklah perlu dikhawatirkan. Bahkan suatu keuntungan akan diperoleh darinya, yakni metode penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sosiologi akan dapat dimanfaatkan di dalam pengembangan Ilmu Hukum. Dengan demikian, kalangan ilmuwan hukum tidak perlu kembali ke penelitian hukum normatif. Yang perlu adalah suatu kesadaran bahwa penelitian hukum normatif dengan objek telaahnya teks-teks otoritatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis dengan objek telaahnya hukum sebagai gejala kemasyarakatan, adalah saling melengkapi. Keduanya merupakan segi-segi dari satu masalah. Di samping itu diperlukan juga suatu kesadaran bahwa jika hanya ada satu jenis penelitian, maka itu baru dilakukan kegiatan ilmiah yang belum lengkap. Melihat hukum hanya dari sisi normatifnya saja tentu tidak bias menggambarkan fakta empiriknya. Demikian juga melihat hukum dari sisi gejala kemasyarakatan tidak bisa menggambarkan hukum sebagai sistem atau tata norma yang positif, sebab ia hanya berhenti kepada deskripsi gejala-gejala saja.
Sumber :
www.legalitas.org
29 Soerjono Soekanto (1994) Ulasan Terhadap “Kembali Ke Metode Penelitian Hukum”. Dalam C.F.G. Sunaryati Hartono,
H. Ph. Visser ‘t Hooft (2003) Filsafat Ilmu Hukum. Terjemahan oleh Bernard Arief Sidharta, Laboratorium Hukum
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung, hal. 1- 5.
Rabu, 10 Maret 2010
penjelasan Peta Kendali & Peta Kendali X–Bar dan R
Peta Kendali (Peta Kontrol)
Dalam pelaksanaan proses produksi untuk menghasilkan sejenis output sulit menghindari terjadinya variasi pada proses. Gaspersz (1998) mendefinisikan variasi sebagai kecenderungan dalam sistem produksi atau operasional sehingga perbedaan dalam kualitas pada output (barang dan jasa yangdihasilkan).
Pada dasarnya dikenal dua sumber atau penyebab timbulnya variasi,yaitu variasi penyebab khusus dan variasi umum. Gaspersz (1998) menjelaskan lebih lanjut tentang jenis variasi tersebut sebagai berikut :
1.Variasi penyebab khusus (Special Causes of Variation)
Variasi penyebab khusus (Special Causes of Variation) adalah kejadian-kejadian di luar sistem yang mempengaruhi variasi dalam sistem. Penyebab khusus dapat bersumber dari manusia, material, lingkungan, metode kerja, dll. Penyebab khusus ini mengambil pola-pola non acak sehingga dapat diidentifikasikan/ditemukan, sebab mereka tidak selalu aktif dalam proses tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses sehingga menimbulkan variasi. Dalam konteks pengendalian proses statistikal menggunakan peta kendali (control chart), jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang melewati atau keluar dari batas-batas pengendalian yang didefinisikan(defined control limit).
2.Variasi penyebab umum (Common Causes of Variation)
Variasi penyebab umum (Common Causes of Variation ) adalah faktor-faktor didalam sistem atau yang melekat pada proses yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem serta hasil-hasilnya. Penyebab umum sering disebut juga penyebab acak (random causes) atau penyebab sistem (system causes). Karena penyebab umum ini selalu melekat pada sistem, untuk menghilangkannya harus menelusuri elemen-elemen dalam sistem itu dan hanya pihak manajemen yang dapat memperbaikinya, karena pihak manajemen yang mengendalikan sistem itu. Dalam konteks pengendalian proses statistical dengan menggunakan peta-peta kendali, jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang berada dalam batas-batas pengendalian yang didefinisikan.
Peta Kendali X–Bar dan R
Peta kontrol X–Bar (rata-rata) dan R (range) digunakan untuk memantau proses yang menpunyai karakteristik berdimensi kontinu, sehingga peta kontrol X-Bar dan R sering disebut sebagai peta kontrol untuk data variabel. Peta kontrol X-Bar menjelaskan kepada kita tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran titik pusat (central tendency) atau rata-rata dari proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti, peralatan yang dipakai, peningkatan temperatur secara gradual, perbedaan metode yang digunakan dalam shift yang kedua, material baru, tenaga kerja baru yang belum dilatih, dan lain-lain. Sedangkan peta kontrol R (range) menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran variasi, dengan demikian berkaitan dengan perubahan homogenitas produk yang dihasilkan melalui suatu proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakor-faktor seperti, bagian peralatan yang hilang, minyak pelumas yang tidak mengalir dengan baik, kelelahan pekerja, dan lain-lain.
Dalam pelaksanaan proses produksi untuk menghasilkan sejenis output sulit menghindari terjadinya variasi pada proses. Gaspersz (1998) mendefinisikan variasi sebagai kecenderungan dalam sistem produksi atau operasional sehingga perbedaan dalam kualitas pada output (barang dan jasa yangdihasilkan).
Pada dasarnya dikenal dua sumber atau penyebab timbulnya variasi,yaitu variasi penyebab khusus dan variasi umum. Gaspersz (1998) menjelaskan lebih lanjut tentang jenis variasi tersebut sebagai berikut :
1.Variasi penyebab khusus (Special Causes of Variation)
Variasi penyebab khusus (Special Causes of Variation) adalah kejadian-kejadian di luar sistem yang mempengaruhi variasi dalam sistem. Penyebab khusus dapat bersumber dari manusia, material, lingkungan, metode kerja, dll. Penyebab khusus ini mengambil pola-pola non acak sehingga dapat diidentifikasikan/ditemukan, sebab mereka tidak selalu aktif dalam proses tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses sehingga menimbulkan variasi. Dalam konteks pengendalian proses statistikal menggunakan peta kendali (control chart), jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang melewati atau keluar dari batas-batas pengendalian yang didefinisikan(defined control limit).
2.Variasi penyebab umum (Common Causes of Variation)
Variasi penyebab umum (Common Causes of Variation ) adalah faktor-faktor didalam sistem atau yang melekat pada proses yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem serta hasil-hasilnya. Penyebab umum sering disebut juga penyebab acak (random causes) atau penyebab sistem (system causes). Karena penyebab umum ini selalu melekat pada sistem, untuk menghilangkannya harus menelusuri elemen-elemen dalam sistem itu dan hanya pihak manajemen yang dapat memperbaikinya, karena pihak manajemen yang mengendalikan sistem itu. Dalam konteks pengendalian proses statistical dengan menggunakan peta-peta kendali, jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang berada dalam batas-batas pengendalian yang didefinisikan.
Peta Kendali X–Bar dan R
Peta kontrol X–Bar (rata-rata) dan R (range) digunakan untuk memantau proses yang menpunyai karakteristik berdimensi kontinu, sehingga peta kontrol X-Bar dan R sering disebut sebagai peta kontrol untuk data variabel. Peta kontrol X-Bar menjelaskan kepada kita tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran titik pusat (central tendency) atau rata-rata dari proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti, peralatan yang dipakai, peningkatan temperatur secara gradual, perbedaan metode yang digunakan dalam shift yang kedua, material baru, tenaga kerja baru yang belum dilatih, dan lain-lain. Sedangkan peta kontrol R (range) menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran variasi, dengan demikian berkaitan dengan perubahan homogenitas produk yang dihasilkan melalui suatu proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakor-faktor seperti, bagian peralatan yang hilang, minyak pelumas yang tidak mengalir dengan baik, kelelahan pekerja, dan lain-lain.
Definisi Umum Display & informasi–informasi yang dibutuhkan sebelum membuat display
Definisi Umum Display
Display merupakan alat peraga yang menyampaikan informasi kepada organ tubuh manusia dengan berbagai macam cara. Penyampaian informasi tersebut di dalam ”sistem manusia-mesin” merupakan suatu proses yang dinamis dari presentasi visual indera penglihatan. Proses tersebut akan sangat banyak dipengaruhi oleh design dari alat peraganya. Display berfungsi sebagai suatu ”sistem komunikasi” yang menghubungkan antara fasilitas kerja maupun mesin kepada manusia. Variabel yang bertindak sebagai mesin dalam hal ini adalah stasiun kerja dengan perantaraannya adalah alat peraga. Manusia disisi lain, berfungsi sebagai operator yang dapat diharapkan untuk melakukan suatu kegiatan yang diinginkan (Nurmianto, 1991).
Display merupakan bagian dari lingkungan yang perlu memberi informasi kepada pekerja agar tugas-tugasnya menjadi lancar. Arti informasi disini cukup luas, menyangkut semua rangsangan yang diterima oleh indera manusia baik langsung maupun tidak langsung. Contoh dari display diantaranya adalah jarum penunjuk speedometer, keadaan jalan raya yang memberikan informasi langsung ke mata, dan peta yang menggambarkan keadaan suatu kota. Jalan raya merupakan contoh dari display langsung, karena kondisi lingkungan jalan bisa langsung diterima oleh pengemudi. Jarum penunjuk speedometer merupakan contoh display tak langsung, karena kecepatan kendaraan diketahui secara tak langsung melalui jarum speedometer sebagai pemberi atau perantara informasi (Sutalaksana,1979).
Display dapat menyajikan informasi-informasi yang diperlukan manusia dalam melaksanakan pekerjaannya, karena itulah display harus dirancang dengan baik. Display yang baik merupakan display yang dapat menyampaikan informasi selengkap mungkin tanpa menimbulkan banyak kesalahan dari manusia sebagai penerima. Menurut Nurmianto (1991), informasi–informasi yang dibutuhkan sebelum membuat display, diantaranya adalah :
1.Tipe teknologi yang digunakan untuk menampilkan informasi.
2.Rentang total dari variabel mengenai informasi mana yang akan ditampilkan.
3.Ketepatan dan Sensitivitas maksimal yang dibutuhkan dalam pengiriman informasi.
4.Kecepatan total dari variabel yang dibutuhkan dalam pengiriman informasi.
5.Minimasi kesalahan dalam pembacaan display.
6.Jarak normal dan maksimal antara display dan pengguna display.
7.Lingkungan dimana display tersebut digunakan.
Display merupakan alat peraga yang menyampaikan informasi kepada organ tubuh manusia dengan berbagai macam cara. Penyampaian informasi tersebut di dalam ”sistem manusia-mesin” merupakan suatu proses yang dinamis dari presentasi visual indera penglihatan. Proses tersebut akan sangat banyak dipengaruhi oleh design dari alat peraganya. Display berfungsi sebagai suatu ”sistem komunikasi” yang menghubungkan antara fasilitas kerja maupun mesin kepada manusia. Variabel yang bertindak sebagai mesin dalam hal ini adalah stasiun kerja dengan perantaraannya adalah alat peraga. Manusia disisi lain, berfungsi sebagai operator yang dapat diharapkan untuk melakukan suatu kegiatan yang diinginkan (Nurmianto, 1991).
Display merupakan bagian dari lingkungan yang perlu memberi informasi kepada pekerja agar tugas-tugasnya menjadi lancar. Arti informasi disini cukup luas, menyangkut semua rangsangan yang diterima oleh indera manusia baik langsung maupun tidak langsung. Contoh dari display diantaranya adalah jarum penunjuk speedometer, keadaan jalan raya yang memberikan informasi langsung ke mata, dan peta yang menggambarkan keadaan suatu kota. Jalan raya merupakan contoh dari display langsung, karena kondisi lingkungan jalan bisa langsung diterima oleh pengemudi. Jarum penunjuk speedometer merupakan contoh display tak langsung, karena kecepatan kendaraan diketahui secara tak langsung melalui jarum speedometer sebagai pemberi atau perantara informasi (Sutalaksana,1979).
Display dapat menyajikan informasi-informasi yang diperlukan manusia dalam melaksanakan pekerjaannya, karena itulah display harus dirancang dengan baik. Display yang baik merupakan display yang dapat menyampaikan informasi selengkap mungkin tanpa menimbulkan banyak kesalahan dari manusia sebagai penerima. Menurut Nurmianto (1991), informasi–informasi yang dibutuhkan sebelum membuat display, diantaranya adalah :
1.Tipe teknologi yang digunakan untuk menampilkan informasi.
2.Rentang total dari variabel mengenai informasi mana yang akan ditampilkan.
3.Ketepatan dan Sensitivitas maksimal yang dibutuhkan dalam pengiriman informasi.
4.Kecepatan total dari variabel yang dibutuhkan dalam pengiriman informasi.
5.Minimasi kesalahan dalam pembacaan display.
6.Jarak normal dan maksimal antara display dan pengguna display.
7.Lingkungan dimana display tersebut digunakan.
Selasa, 09 Maret 2010
Pengertian & Pembagian Anthropometri
Pengertian Anthropometri
Menurut Sritomo (1989), salah satu bidang keilmuan ergonomis adalah istilah Anthropometri yang berasal dari “Anthro” yang berarti manusia dan “Metron” yang berarti ukuran. Secara definitif anthropometri dinyatakan sebagai suatu studi yang menyangkut pengukuran dimensi tubuh manusia dan aplikasi rancangan yang menyangkut geometri fisik, massa, dan kekuatan tubuh.
Sedangkan pengertian anthropometri menurut Stevenson (1989) dan Nurmianto (1991), adalah satu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik tubuh manusia berupa ukuran, bentuk, dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut untuk penanganan masalah desain.
Menurut Nurmianto (1991), manusia pada dasarnya memiliki bentuk, ukuran tinggi, lebar, berat, dan lain-lain yang berbeda satu dengan yang lainnya. Anthropometri secara lebih luas digunakan sebagai pertimbangan ergonomis dalam proses perencanaan produk maupun sistem kerja yang memerlukan interaksi manusia. Data Anthropometri akan diaplikasikan secara lebih luas antara lain dalam hal :
a.Perancangan areal kerja (work station, Interior mobil).
b.Perancangan alat kerja seperti mesin, equipment perkakas (tools) dan sebagainya.
c.Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi, meja, dan sebagainya.
d.Perancangan lingkungan kerja fisik
Pembagian Anthropometri
Menurut Stevenson (1989), anthropometri dibagi menjadi dua bagian antara lain :
1.Anthropometri statis yaitu pengukuran dilakukan pada saat tubuh dalam keadaan diam.
2.Anthropometri dinamis yaitu dimana dimensi tubuh yang diukur dalam berbagai posisi tubuh yang sedang bergerak.
Menurut Stevenson (1981) dan Nurmianto (1991), Dimensi yang diukur pada anthropometri statis diambil secara linier (lurus) dan dilakukan pada permukaan tubuh, agar hasilnya representatif maka pengukuran harus dilakukan dengan metode tertentu terhadap individu. Manusia pada umumnya akan berbeda-beda dalam hal bentuk dan dimensi ukuran tubuhnya.
Menurut Sritomo (1989), salah satu bidang keilmuan ergonomis adalah istilah Anthropometri yang berasal dari “Anthro” yang berarti manusia dan “Metron” yang berarti ukuran. Secara definitif anthropometri dinyatakan sebagai suatu studi yang menyangkut pengukuran dimensi tubuh manusia dan aplikasi rancangan yang menyangkut geometri fisik, massa, dan kekuatan tubuh.
Sedangkan pengertian anthropometri menurut Stevenson (1989) dan Nurmianto (1991), adalah satu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik tubuh manusia berupa ukuran, bentuk, dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut untuk penanganan masalah desain.
Menurut Nurmianto (1991), manusia pada dasarnya memiliki bentuk, ukuran tinggi, lebar, berat, dan lain-lain yang berbeda satu dengan yang lainnya. Anthropometri secara lebih luas digunakan sebagai pertimbangan ergonomis dalam proses perencanaan produk maupun sistem kerja yang memerlukan interaksi manusia. Data Anthropometri akan diaplikasikan secara lebih luas antara lain dalam hal :
a.Perancangan areal kerja (work station, Interior mobil).
b.Perancangan alat kerja seperti mesin, equipment perkakas (tools) dan sebagainya.
c.Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi, meja, dan sebagainya.
d.Perancangan lingkungan kerja fisik
Pembagian Anthropometri
Menurut Stevenson (1989), anthropometri dibagi menjadi dua bagian antara lain :
1.Anthropometri statis yaitu pengukuran dilakukan pada saat tubuh dalam keadaan diam.
2.Anthropometri dinamis yaitu dimana dimensi tubuh yang diukur dalam berbagai posisi tubuh yang sedang bergerak.
Menurut Stevenson (1981) dan Nurmianto (1991), Dimensi yang diukur pada anthropometri statis diambil secara linier (lurus) dan dilakukan pada permukaan tubuh, agar hasilnya representatif maka pengukuran harus dilakukan dengan metode tertentu terhadap individu. Manusia pada umumnya akan berbeda-beda dalam hal bentuk dan dimensi ukuran tubuhnya.
pengertian & cara kerja mesin sekrap
Pengertian Mesin sekrap
Mesin sekrap (Shaping Machine) adalah mesin perkakas yang mempunyai gerak utama bolak-balik horizontal dan berfungsi untuk merubah bentuk dan ukuran benda kerja sesuai dengan yang dikehendaki, (Amstead, 1955). Pahat bekerja pada saat gerakan maju, dengan gerakan ini dihasilkan pekerjaan, seperti :
a.Meratakan bidang : baik bidang datar, bidang tegak maupun bidang miring.
b.Membuat alur : alur pasak, alur V, alur ekor burung, dsb.
c.Membuat bidang bersudut atau bertingkat.
d.Membentuk : yaitu mengerjakan bidang-bidang yang tidak beraturan.
Macam-macam Mesin Sekrap
Berikut ini macam-macam dari mesin sekrap.
a.Menurut cara kerjanya :
1). Mesin sekrap biasa, dimana pahat sekrap bergerak mundur maju menyayat benda kerja yang terpasang pada meja mesin.
2).Planer, dimana pahat (diam) menyayat benda kerja yang dipasang pada meja mesin dan bergerak bolak-balik.
3).Sloting, dimana gerakan pahat adalah vertical (naik-turun), digunakan untuk membuat alur pasak pada roda gigi dan pully.
b.Menurut tenaga penggeraknya :
1).Mesin sekrap engkol : gerak berputar diubah menjadi gerak bolak-balik dengan engkol.
2).Mesin sekrap hidrolik : gerak bolak-balik lengan berasal dari tenaga hidrolik.
Ukuran-ukuran Utama Mesin Sekrap
Ukuran utama sebuah mesin sekrap ditentukan oleh :
a.Panjang langkah maksimum.
b.Jarak maksimum gerakan meja mesin arah mendatar.
c.Jarak maksimum gerkan meja mesin arah vertical (naik turunnya meja).
Cara Kerja Mesin Sekrap
Pada mesin sekrap, gerakan berputar dari motor diubah menjadi gerak lurus/gerak bolak-balik melalui blok geser dan lengan penggerak. Possisi langkah dapat diatur dengan spindle posisi dan untuk mengatur panjang langkah dengan bantuan blok geser.
Nama-nama Bagian Mesin Sekrap
1.Support/eretan tegak
2.Pelat pemegang pahat
3.Tool post/penjepit pahat
4.Ragum
5.Meja
6.Penjepit
7.Tuas kedudukan eretan
8.Tuas kedudukan langkah
9.Lengan
10.Rangka
11.Tombol On-Off
12.Tuas penjalan
13.Tuas pengtur kecepatan
14.Pengatur jarak langkah
15.Motor
16.Eksentrikpenggerak
17.Eretan meja arah
18.Eretan meja arah tegak
Mesin sekrap (Shaping Machine) adalah mesin perkakas yang mempunyai gerak utama bolak-balik horizontal dan berfungsi untuk merubah bentuk dan ukuran benda kerja sesuai dengan yang dikehendaki, (Amstead, 1955). Pahat bekerja pada saat gerakan maju, dengan gerakan ini dihasilkan pekerjaan, seperti :
a.Meratakan bidang : baik bidang datar, bidang tegak maupun bidang miring.
b.Membuat alur : alur pasak, alur V, alur ekor burung, dsb.
c.Membuat bidang bersudut atau bertingkat.
d.Membentuk : yaitu mengerjakan bidang-bidang yang tidak beraturan.
Macam-macam Mesin Sekrap
Berikut ini macam-macam dari mesin sekrap.
a.Menurut cara kerjanya :
1). Mesin sekrap biasa, dimana pahat sekrap bergerak mundur maju menyayat benda kerja yang terpasang pada meja mesin.
2).Planer, dimana pahat (diam) menyayat benda kerja yang dipasang pada meja mesin dan bergerak bolak-balik.
3).Sloting, dimana gerakan pahat adalah vertical (naik-turun), digunakan untuk membuat alur pasak pada roda gigi dan pully.
b.Menurut tenaga penggeraknya :
1).Mesin sekrap engkol : gerak berputar diubah menjadi gerak bolak-balik dengan engkol.
2).Mesin sekrap hidrolik : gerak bolak-balik lengan berasal dari tenaga hidrolik.
Ukuran-ukuran Utama Mesin Sekrap
Ukuran utama sebuah mesin sekrap ditentukan oleh :
a.Panjang langkah maksimum.
b.Jarak maksimum gerakan meja mesin arah mendatar.
c.Jarak maksimum gerkan meja mesin arah vertical (naik turunnya meja).
Cara Kerja Mesin Sekrap
Pada mesin sekrap, gerakan berputar dari motor diubah menjadi gerak lurus/gerak bolak-balik melalui blok geser dan lengan penggerak. Possisi langkah dapat diatur dengan spindle posisi dan untuk mengatur panjang langkah dengan bantuan blok geser.
Nama-nama Bagian Mesin Sekrap
1.Support/eretan tegak
2.Pelat pemegang pahat
3.Tool post/penjepit pahat
4.Ragum
5.Meja
6.Penjepit
7.Tuas kedudukan eretan
8.Tuas kedudukan langkah
9.Lengan
10.Rangka
11.Tombol On-Off
12.Tuas penjalan
13.Tuas pengtur kecepatan
14.Pengatur jarak langkah
15.Motor
16.Eksentrikpenggerak
17.Eretan meja arah
18.Eretan meja arah tegak
Jumat, 05 Maret 2010
Pengertian Proses Produksi & Jenis Proses Produksi
Proses Produksi
Proses produksi yaitu suatu kegiatan perbaikan terus-menerus (continuos improvment), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya ide-ide untuk menghasilkan suatu produk, pengembangan produk, proses produksi, sampai distribusi kepada konsumen (V. Gaspersz, 2004).
Proses produksi terdiri dari dua kata, yaitu proses dan produksi yang memiliki makna yang berbeda.Proses adalah cara, metode, dan teknik bagaimana sumber-sumber (manusia, mesin, material dan uang) yang akan dirubah untuk memperoleh suatu hasil. Sedangkan produksi adalah kegiatan menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa. Jadi pengertian dari proses produksi adalah suatu cara, metode dan teknik untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber-sumber (manusia, mesin, material, dan uang) yang ada.
Jenis-Jenis Proses Produksi
Secara umum, proses produksi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu proses produksi yang terus-menerus (countinous processes) dan proses produksi yang terputus-putus (intermittent processes). Perbedaan pokok dari kedua proses produksi tersebut adalah berdasarkan pada panjang tidaknya waktu persiapan untuk mengatur (set up) peralatan produksi yang digunakan untuk memproduksi suatu produk atau beberapa produk tanpa mengalami perubahan. Pada proses produksi yang terus-menerus, perusahaan atau pabrik menggunakan mesin-mesin yang dipersiapkan (set up) dalam jangka waktu yang lama dan tanpa mengalami perubahan. Sedangkan untuk proses produksi yang terputus-putus menggunakan mesin-mesin yang dipersiapkan dalam jangka waktu yang pendek, dan kemudian akan dirubah atau dipersiapkan kembali untuk memproduksi produk lain. Adapun sifat-sifat atau ciri-ciri dari proses produksi
yang terus-menerus (countinous processes), yaitu :
1.Produk yang dihasilkan pada umumnya dalam jumlah besar dengan variasi yang sangat kecil dan sudah distandarisasikan.
2.Sistem atau cara penyusunan peralatannya berdasarkan urutan pengerjaan dari
produk yang dihasilkan, yang biasa disebut product layout/departementation
by product.
3.Mesin-mesin yang digunakan untuk menghasilkan produk bersifat khusus
(Special Purpose Machines).
4.Pengaruh operator terhadap produk yang dihasilkan sangat kecil karena mesin
biasanya bekerja secara otomatis, sehingga seorang operator tidak perlu memiliki keahlian tinggi untuk pengerjaan produk tersebut.
5.Apabila salah satu mesin/peralatan terhenti atau rusak, maka seluruh proses
akan terhenti.
6.Job strukturnya sedikit dan jumlah tenaga kerjanya tidak perlu banyak.
7. Persediaan bahan mentah dan bahan dalam proses lebih rendah dari padapersediaan bahan mentah dan bahan dalam proses pada proses produksi yang terputus-putus.
8. Diperlukan perawatan khusus terhadap mesin-masin yang digunakan.
9. Biasanya bahan-bahan dipindahkan dengan peralatan yang tetap (fixed path
equipment) yang menggunakan tenaga mesin, seperti konveyor.
Sedangkan sifat-sifat atau ciri-ciri dari proses produksi yang terputus-putus
(intermetent processes) adalah :
1. Produk yang dihasilkan biasanya dalam jumlah kecil dengan variasi yang
sangat besar dan didasarkan pada pesanan.
2.Sistem atau cara penyusunan peralatan berdasarkan atas fungsi dalam proses
produksi atau peralatan yang sama dikelompokkan pada tempat yang sama, yang disebut dengan process layout/departemantation by equipment.
3.Mesin-mesin yang digunakan bersifat umum dan dapat digunakan untuk menghasilkan bermacam-macam produk dengan variasi yang hamper sama(General Purpose Machines).
4. Pengaruh operator terhadap produk yang dihasilkan cukup besar, sehingga operator memerlukan keahlian yang tinggi dalam pengerjaan produk serta terhadap pekerjaan yang bermacam-macam yang menimbulkan pengawasan yang lebih sulit.
5. Proses produksi tidak akan berthenti walaupun terjadi kerusakan atau terhentinya salah satu mesin/peralatan.
6. Persediaan bahan mentah pada umumnya tinggi karena tidak dapat ditentukan pesanan apa yang harus dipesan oleh pembeli, dan persediaan bahan dalam proses lebih tinggi dari proses produksi yang terus-menerus (countinous processes) karena prosesnya putus-putus.
7. Biasanya bahan-bahan dipindahkan dengan peralatan handling yang dapat berpindah secara bebas (Variable Path Equipment) yang menggunakan tenaga manusia, seperti kereta dorong atau forklift.
8. Pemindahan bahan sering dilakukan bolak-balik sehingga perlu adanya ruang
gerak (aisle) yang besar dan ruang tempat bahan-bahan dalam proses (work in
process) yang besar.
Proses produksi yaitu suatu kegiatan perbaikan terus-menerus (continuos improvment), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya ide-ide untuk menghasilkan suatu produk, pengembangan produk, proses produksi, sampai distribusi kepada konsumen (V. Gaspersz, 2004).
Proses produksi terdiri dari dua kata, yaitu proses dan produksi yang memiliki makna yang berbeda.Proses adalah cara, metode, dan teknik bagaimana sumber-sumber (manusia, mesin, material dan uang) yang akan dirubah untuk memperoleh suatu hasil. Sedangkan produksi adalah kegiatan menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa. Jadi pengertian dari proses produksi adalah suatu cara, metode dan teknik untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber-sumber (manusia, mesin, material, dan uang) yang ada.
Jenis-Jenis Proses Produksi
Secara umum, proses produksi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu proses produksi yang terus-menerus (countinous processes) dan proses produksi yang terputus-putus (intermittent processes). Perbedaan pokok dari kedua proses produksi tersebut adalah berdasarkan pada panjang tidaknya waktu persiapan untuk mengatur (set up) peralatan produksi yang digunakan untuk memproduksi suatu produk atau beberapa produk tanpa mengalami perubahan. Pada proses produksi yang terus-menerus, perusahaan atau pabrik menggunakan mesin-mesin yang dipersiapkan (set up) dalam jangka waktu yang lama dan tanpa mengalami perubahan. Sedangkan untuk proses produksi yang terputus-putus menggunakan mesin-mesin yang dipersiapkan dalam jangka waktu yang pendek, dan kemudian akan dirubah atau dipersiapkan kembali untuk memproduksi produk lain. Adapun sifat-sifat atau ciri-ciri dari proses produksi
yang terus-menerus (countinous processes), yaitu :
1.Produk yang dihasilkan pada umumnya dalam jumlah besar dengan variasi yang sangat kecil dan sudah distandarisasikan.
2.Sistem atau cara penyusunan peralatannya berdasarkan urutan pengerjaan dari
produk yang dihasilkan, yang biasa disebut product layout/departementation
by product.
3.Mesin-mesin yang digunakan untuk menghasilkan produk bersifat khusus
(Special Purpose Machines).
4.Pengaruh operator terhadap produk yang dihasilkan sangat kecil karena mesin
biasanya bekerja secara otomatis, sehingga seorang operator tidak perlu memiliki keahlian tinggi untuk pengerjaan produk tersebut.
5.Apabila salah satu mesin/peralatan terhenti atau rusak, maka seluruh proses
akan terhenti.
6.Job strukturnya sedikit dan jumlah tenaga kerjanya tidak perlu banyak.
7. Persediaan bahan mentah dan bahan dalam proses lebih rendah dari padapersediaan bahan mentah dan bahan dalam proses pada proses produksi yang terputus-putus.
8. Diperlukan perawatan khusus terhadap mesin-masin yang digunakan.
9. Biasanya bahan-bahan dipindahkan dengan peralatan yang tetap (fixed path
equipment) yang menggunakan tenaga mesin, seperti konveyor.
Sedangkan sifat-sifat atau ciri-ciri dari proses produksi yang terputus-putus
(intermetent processes) adalah :
1. Produk yang dihasilkan biasanya dalam jumlah kecil dengan variasi yang
sangat besar dan didasarkan pada pesanan.
2.Sistem atau cara penyusunan peralatan berdasarkan atas fungsi dalam proses
produksi atau peralatan yang sama dikelompokkan pada tempat yang sama, yang disebut dengan process layout/departemantation by equipment.
3.Mesin-mesin yang digunakan bersifat umum dan dapat digunakan untuk menghasilkan bermacam-macam produk dengan variasi yang hamper sama(General Purpose Machines).
4. Pengaruh operator terhadap produk yang dihasilkan cukup besar, sehingga operator memerlukan keahlian yang tinggi dalam pengerjaan produk serta terhadap pekerjaan yang bermacam-macam yang menimbulkan pengawasan yang lebih sulit.
5. Proses produksi tidak akan berthenti walaupun terjadi kerusakan atau terhentinya salah satu mesin/peralatan.
6. Persediaan bahan mentah pada umumnya tinggi karena tidak dapat ditentukan pesanan apa yang harus dipesan oleh pembeli, dan persediaan bahan dalam proses lebih tinggi dari proses produksi yang terus-menerus (countinous processes) karena prosesnya putus-putus.
7. Biasanya bahan-bahan dipindahkan dengan peralatan handling yang dapat berpindah secara bebas (Variable Path Equipment) yang menggunakan tenaga manusia, seperti kereta dorong atau forklift.
8. Pemindahan bahan sering dilakukan bolak-balik sehingga perlu adanya ruang
gerak (aisle) yang besar dan ruang tempat bahan-bahan dalam proses (work in
process) yang besar.
Pengertian Pengendalian Kualitas (QC)
Pengertian Pengendalian Kualitas
pengendalian adalah suatu proses pendelegasian tanggung jawab dan wewenang untuk suatu aktivitas manajemen,dalam menopang usaha-usaha atau sarana dalam rangka menjamin hasil-hasil yang memuaskan. Pengertian kualitas juga banyak diberikan oleh orang yang ahli dalam bidang manajemen mutu terpadu, diantaranya :
1. Menurut Philip B. Crosby (1979)
Kualitas adalah comformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan. Suatu produk memiliki kualitas apabila sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan. Standar kualitas meliputi bahan baku, proses produksi, dan produk jadi. Crosby terkenal dengan anjuran manajemen zero defect dan pencegahan, yang menentang tingkat kualitas yang
dapat diterima secara statistik (acceptable quality level). Crosby mengemukakan 14 langkah untuk perbaikan kualitas (Crosby’s Fourteen
Steps to Quality Improvement), yaitu :
a. Komitmen manajemen
b. Membentuk tim kualitas antardepartemen
c. Mengidentifikasi sumber terjadinya masalah saat ini dan masalah potensial.
d. Biaya evaluasi kualitas
e. Meningkatkan kesadaran akan kualitas
f. Melakukan tindakan koreksi
g. Mengadakan program zero defect
h. Pelatihan bagi supervisi
i. Mengadakan zero defect day
j. Menyusun sasaran atau tujuan
k. Kesalahan menyebabkan adanya perubahan
l. Mengakui/menerima para karyawan yang berpatisipasi
m. Membentuk dewan kualitas
n. Mengulangi setiap tahap tersebut untuk menjelaskan bahwa perbaikan
kualitas adalah proses yang tidak pernah berakhir.
2. Menurut Deming (1982)
Kualitas merupakan kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Perusahaan harus benar-benar dapat memahami apa yang dibutuhkan konsumen atas suatu produk yang akan dihasilkan.
3. Menurut A. V. Feigenbaum (1983)
Kualitas adalah sesuatu yang diputuskan oleh pelanggan berdasarkan pengalaman aktual terhadap suatu produk atau jasa, yang diukur berdasarkan persyaratan dari pelanggan tersebut, baik dinyatakan atau tidak dinyatakan, disadari atau tidak disadari, dimana kualitas tersebut telah menjadi sasaran yang bergerak dalam pasar yang penuh persaingan.
4. Menurut Scherkenbach (1991)
Kualitas ditentukan oleh pelanggan, dimana pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut.
5. Menurut Elliot (1993)
Kualitas merupakan sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat, dikatakan sesuai dengan tujuan.
pengendalian adalah suatu proses pendelegasian tanggung jawab dan wewenang untuk suatu aktivitas manajemen,dalam menopang usaha-usaha atau sarana dalam rangka menjamin hasil-hasil yang memuaskan. Pengertian kualitas juga banyak diberikan oleh orang yang ahli dalam bidang manajemen mutu terpadu, diantaranya :
1. Menurut Philip B. Crosby (1979)
Kualitas adalah comformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan. Suatu produk memiliki kualitas apabila sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan. Standar kualitas meliputi bahan baku, proses produksi, dan produk jadi. Crosby terkenal dengan anjuran manajemen zero defect dan pencegahan, yang menentang tingkat kualitas yang
dapat diterima secara statistik (acceptable quality level). Crosby mengemukakan 14 langkah untuk perbaikan kualitas (Crosby’s Fourteen
Steps to Quality Improvement), yaitu :
a. Komitmen manajemen
b. Membentuk tim kualitas antardepartemen
c. Mengidentifikasi sumber terjadinya masalah saat ini dan masalah potensial.
d. Biaya evaluasi kualitas
e. Meningkatkan kesadaran akan kualitas
f. Melakukan tindakan koreksi
g. Mengadakan program zero defect
h. Pelatihan bagi supervisi
i. Mengadakan zero defect day
j. Menyusun sasaran atau tujuan
k. Kesalahan menyebabkan adanya perubahan
l. Mengakui/menerima para karyawan yang berpatisipasi
m. Membentuk dewan kualitas
n. Mengulangi setiap tahap tersebut untuk menjelaskan bahwa perbaikan
kualitas adalah proses yang tidak pernah berakhir.
2. Menurut Deming (1982)
Kualitas merupakan kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Perusahaan harus benar-benar dapat memahami apa yang dibutuhkan konsumen atas suatu produk yang akan dihasilkan.
3. Menurut A. V. Feigenbaum (1983)
Kualitas adalah sesuatu yang diputuskan oleh pelanggan berdasarkan pengalaman aktual terhadap suatu produk atau jasa, yang diukur berdasarkan persyaratan dari pelanggan tersebut, baik dinyatakan atau tidak dinyatakan, disadari atau tidak disadari, dimana kualitas tersebut telah menjadi sasaran yang bergerak dalam pasar yang penuh persaingan.
4. Menurut Scherkenbach (1991)
Kualitas ditentukan oleh pelanggan, dimana pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut.
5. Menurut Elliot (1993)
Kualitas merupakan sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat, dikatakan sesuai dengan tujuan.
Kamis, 04 Maret 2010
Pengendalian Kualitas (QC)
PENGERTIAN PENGENDALIAN KUALITAS
Pengendalian Kualitas memegang peranan yang penting karena menentukan mutu barang atas produk yang dihasilkan oleh perusahan tersebut. Bila produk barang atau jasa yng dihasilkan tidak memenuhi standart yang berlaku, tentunya tidak akan disukai oleh konsumen. Setelah mengetahui pengertian dari kata pengendalian dan kualitas, maka pengendalian kualitas pun didefinisikan secara menyeluruh menurut beberapa ahli manajemen mutu, diantaranya
1. Menurut Feigenbaum (1983)
Pengendalian kualitas merupakan tindakan yang perlu dilakukan untuk menjamin tercapainya tujuan dengan jalan mengadakan pemeriksaan yang dimulai dari bahan mentah sampai bahan jadi sehingga sesuai dengan yang diinginkan.
2. Menurut Ishikawa (1985)
Pengendalian kualitas adalah keseluruhan cara yang digunakan untuk menetapkan dan mencapai standar mutu atau dapat pula dikatakan bahwa pengawasan mutu adalah suatu sistem yang terdiri atas pengujian, analisis dan tindakan yang harus diambil yang berguna untuk mengendalikan mutu suatu produk sehinggga mencapai standar yang diinginkan.
3. Menurut Sofjan (1993)
Pengendalian kualitas adalah suatu tindakan atau kegiatan untuk memastikan apakah kebijaksanaan dalam hal mutu dapat tercermin pada hasil akhir. Dengan perkataan lain pengawasan mutu merupakan usaha untuk mempertahankan mutu dari barang yang dihasilkan agar sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan perusahaan.
4. Menurut Vincent Gasperz (1998)
Pengendalian kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen, melalui mana kita mengukur karakteristik kualitas dari barang atau jasa yangdihasilkan, kemudian membandingkan hasil pengukuran dengan spesifikasi output yang diinginkan pelanggan, serta mengambil tindakan perbaikan yang tepat apabila ditemukan perbedaan antara performansi aktual dan standar.
Faktor-faktor Yang Menentukan Kualitas
Menurut Feigenbaum, ada 9 faktor yang menentukan kualitas yang dikenal dengan 9 M, yaitu :
1. Market (pasar)
2. Money (uang)
3. Management (manajemen)
4. Man (manusia)
5. Motivation (motivasi)
6. Materials (bahan)
7. Machines and mechanization (mesin dan mekanisme)
8. Modern Information Method (metode informasi modern)
9. Mounting Product Requirements (persyaratan proses produksi)
Pengendalian Kualitas memegang peranan yang penting karena menentukan mutu barang atas produk yang dihasilkan oleh perusahan tersebut. Bila produk barang atau jasa yng dihasilkan tidak memenuhi standart yang berlaku, tentunya tidak akan disukai oleh konsumen. Setelah mengetahui pengertian dari kata pengendalian dan kualitas, maka pengendalian kualitas pun didefinisikan secara menyeluruh menurut beberapa ahli manajemen mutu, diantaranya
1. Menurut Feigenbaum (1983)
Pengendalian kualitas merupakan tindakan yang perlu dilakukan untuk menjamin tercapainya tujuan dengan jalan mengadakan pemeriksaan yang dimulai dari bahan mentah sampai bahan jadi sehingga sesuai dengan yang diinginkan.
2. Menurut Ishikawa (1985)
Pengendalian kualitas adalah keseluruhan cara yang digunakan untuk menetapkan dan mencapai standar mutu atau dapat pula dikatakan bahwa pengawasan mutu adalah suatu sistem yang terdiri atas pengujian, analisis dan tindakan yang harus diambil yang berguna untuk mengendalikan mutu suatu produk sehinggga mencapai standar yang diinginkan.
3. Menurut Sofjan (1993)
Pengendalian kualitas adalah suatu tindakan atau kegiatan untuk memastikan apakah kebijaksanaan dalam hal mutu dapat tercermin pada hasil akhir. Dengan perkataan lain pengawasan mutu merupakan usaha untuk mempertahankan mutu dari barang yang dihasilkan agar sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan perusahaan.
4. Menurut Vincent Gasperz (1998)
Pengendalian kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen, melalui mana kita mengukur karakteristik kualitas dari barang atau jasa yangdihasilkan, kemudian membandingkan hasil pengukuran dengan spesifikasi output yang diinginkan pelanggan, serta mengambil tindakan perbaikan yang tepat apabila ditemukan perbedaan antara performansi aktual dan standar.
Faktor-faktor Yang Menentukan Kualitas
Menurut Feigenbaum, ada 9 faktor yang menentukan kualitas yang dikenal dengan 9 M, yaitu :
1. Market (pasar)
2. Money (uang)
3. Management (manajemen)
4. Man (manusia)
5. Motivation (motivasi)
6. Materials (bahan)
7. Machines and mechanization (mesin dan mekanisme)
8. Modern Information Method (metode informasi modern)
9. Mounting Product Requirements (persyaratan proses produksi)
Langganan:
Postingan (Atom)